Siapkah ALA-Abas Pisah dari Aceh?
Dalam beberapa bulan terakhir, wacana pemekaran provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (Abas) kembali menguat. Anggota dewan pro ALA-Abas saling membuat pernyataan untuk berjuang melepaskan dua kawasan itu dari provinsi induknya, Aceh. Benarkah gagasan ini hanya untuk kepentingan elite politik atau memang bertujuan untuk kesejahteraan rakyat? Bagaimana pula kemampuan ekonomi dua kawasan yang ingin memisahkan diri itu? Serambi mengupasnya dalam laporan eksklusif berikut ini.
ISU pemekaran Provinsi Aceh atau pembentukan provinsi ALA dan Abas tampaknya bertahun-tahun sangat laku sebagai komoditas politik. Faktanya, isu yang sudah berumur belasan tahun itu selalu mencuat menjelang dan beberapa saat setelah pemilu usai. Provinsi Abas digadang-gadang sebagai provinsi baru, hasil gabungan Aceh Jaya, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Barat, Aceh Selatan, dan Simeulue. Sedangkan ALA terdiri atas Aceh Tengah, Gayo Lues, Bener Meriah, Aceh Tenggara, Kota Subulussalam, dan Aceh Singkil.
Menjelang pemilu legislatif lalu, para caleg di dua kawasan itu menjual jurus mautnya: berjuang habis-habisan agar kawasan itu mekar sebagai provinsi baru. “Kalau saya terpilih, insya Allah kawasan ini akan saya perjuangkan jadi provinsi. Kalau jadi, bapak-bapak dan ibu-ibu tak usah khawatir. Kita akan makmur kaya raya,” begitu salah satu isi pidato seorang caleg yang sempat direkam Serambi saat itu.
Saat kampanye pemilu presiden, beberapa juru kampanye juga kembali menyebutkan bahwa presiden yang mereka jagokan itu sangat mendukung pembentukan provinsi baru, ALA dan Abas.
Kini, isu ALA-Abas terus digulirkan, khususnya setelah beberapa pentolan pemekaran Aceh terpilih sebagai anggota DPR RI. Ir Tagore Abubakar salah satuhnya. Ia bersuara lantang mendesak agar pemerintah pusat segera membahas dan menetapkan Aceh Leuser Antara (ALA) sebagai sebuah provinsi baru yang terpisah dari Provinsi Aceh. Berbagai upaya, strategi, dan lobi politik sejak lama dilakoni, namun hingga kini pusat belum memberi sinyal hijau atas tuntutan berdirinya provinsi ALA dan Abas itu.
“Pemekaran sebuah keharusan. Ini tuntutan dan kehendak rakyat yang semakin hari semakin tidak menemukan kesejahteraan hidupnya karena berbagai faktor ekonomi dan geografis,” kata Tagore yang dihubungi Serambi dari Jakarta, Sabtu, (1/11) lalu.
Menurut dia, tak ada lagi hambatan bagi pusat untuk menunda kehendak rakyat. Demikian pula dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang selama ini dianggap sebagai regulasi penghambat pemekaran. “UUPA bukan satu hambatan karena hanya menyebut pemekaran dibolehkan atas pertimbangan gubernur,” kata dia.
Dalam sepuluh tahun terakhir, persoalan ALA-Abas ikut menguras energi dan pikiran Pemerintah Aceh, tak terkecuali saat Aceh dipimpin Irwandi Yusuf. Pada tahun 2008, Gubernur Irwandi bahkan sampai harus merekrut Iwan Gayo, penulis Buku Pintar, sebagai Ketua Komite Percepatan Pembangunan Kawasan ALA-Abas. Kebijakan ini dilakukan untuk meredam aksi-aksi demonstrasi di Jakarta yang meminta Aceh dimekarkan. Meski kemudian, lembaga yang dipimpin Iwan ini tak bertaring dan gagal menjalankan misinya di lapangan.
Pria berpenampilan nyentrik ini kemudian ‘dipecat’ dari Komite Persiapan Pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara (KP3 ALA Pusat) karena dianggap bersekongkol. Iwan sendiri dalam sejumlah kesempatan saat itu menegaskan bahwa dirinya tetap tidak akan mengubur tujuan semula, yakni ALA berpisah dari provinsi induknya.
Untuk ALA, bahkan sudah ditentukan ibu kotanya. Ketua KP3-ALA Aceh Tengah, Ir Syukur Kobath kepada Serambi mengatakan, telah disepakati bahwa Blangkejeren, Gayo Lues, sebagai ibu kota provinsi, jika ALA terbentuk. “Itu sudah sejak tahun 2007 kami bahas. Seluruh pimpinan dewan ketika itu menyetujuinya,” kata Syukur Kobath yang juga mantan Ketua DPRK Aceh Tengah periode 2004-2009.
Saat ditanya tujuan pemekaran, Syukur berujar, “Dari sisi lain, budaya kawasan tengah dan tenggara juga ada perbedaan jika dibandingkan dengan kawasan pesisir Aceh. Tetapi, semata-mata bukan karena itu. Tujuannya adalah agar pembangunan bisa merata.”
Pengamat politik dari Universitas Syiah Kuala menyebutkan, tuntutan pemekaran saat ini bukanlah didasari olh pertimbangan ekonomi semata. Toh, selama ini sudah banyak anggaran yang digelontorkan Pemerintah Aceh untuk kawasan ALA dan Abas (Lihat grafis).
Sejak tahun 2012 hingga 2014, Pemerintah Aceh telah menyuntikkan dana Otonomi Khusus (Otsus) untuk ALA dan Abas hampir Rp 5 triliun. Ini belum lagi plot dana-dana lain. Misalnya, untuk menuntaskan 14 ruas jalan tembus lintas tengah, konon Pemerintah Aceh menganggarkan dana sampai Rp 2,5 triliun hingga tahun 2016. “Sekarang masalahnya bukan lagi soal ekonomi, tapi persoalan politis. Mereka merasa dikucilkan, misalnya saja soal Lembaga Wali Nanggroe yang awalnya tak mengakomodir calon Wali yang tak fasih berbahasa Aceh. Padahal di Aceh, hidup 13 bahasa,” kata pengamat politik dari Unsyiah ini.
“Selama ini yang kurang adalah perhatian dan pendekatan dari Pemerintah Aceh,” kata pria ini lagi.
Seperti halnya elite-elite pemerintah Aceh yang lain, Anggota DPRK Aceh Utara, Ismet Aj Nur Hasan menilai, upaya pemekaran Provinsi Aceh saat ini tidaklah tepat. Jika melihat angka kemiskinan, kata Ismet, justru Aceh Utara lebih layak minta pisah dari Provinsi Aceh. Setelah puluhan tahun hasil buminya dikeruk, Aceh Utara masih merupakan kabupaten yang penduduk miskinnya paling banyak di Aceh. “Jadi, wajar dan sah saja bila masyarakat Aceh Utara juga ikut mewacanakan pemekaran provinsi yang tentunya wilayahnya bisa disatukan mulai dari Aceh Utara hingga ke Tamiang,” tutur Anggota DPRK Aceh Utara ini kepada Serambi pekan lalu.
Secara teknis, ALA dan Abas punya kriteria yang siap untuk mekar. Namun, pertimbangan politik, termasuk terkait perdamaian Aceh, menjadi salah satu alasan mengapa elite-elite di provinsi ini enggan melepas dua kawasan itu dari genggaman.
Di sisi lain, Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah telah memberi perhatian lebih untuk dua kawasan ini dalam beberapa tahun terakhir. Dalam kunjungannya ke kawasan ALA-Abas pada September lalu, Zaini disambut meriah. Pria yang akrab disapa ‘Doto’ ini juga menjanjikan sejumlah bantuan untuk membangun kawasan itu, khususnya infrastruktur jalan. Di Banda Aceh, dalam pertemuannya dengan belasan Anggota DPRK Aceh Tengah, dua pekan lalu, Gubernur Zaini juga memberi peluang Takengon dijadikan kota, bukan lagi sebagai ibu kota Kabupaten Aceh Tengah. Ini barangkali salah satu solusi dari Pemerintah Aceh untuk meningkatkan kesejahteraan warga di kawasan itu tanpa harus memisahkan diri dari Aceh.(SerambiIndonesia)
Labels
aceh
Post A Comment
No comments :