Kamp Pengungsi Rohingya di Aceh Diguncang Isu Perkosaan
KantoMaya News, ASSOCIATED PRESS — Menurut Wakil Ketua Misi Organisasi Migrasi Internasional (IOM) di Indonesia Steve Hamilton – sebagaimana dikutip Associated Press – insiden itu berawal setelah pihak berwenang memaksa salah seorang pengungsi perempuan untuk memeriksakan diri ke rumah sakit.
Warga Rohingya lainnya tidak ingin perempuan itu pergi ke rumah sakit, karena khawatir ia akan dianiaya lebih jauh jika terpisah dari kelompok tersebut.
"Ini menimbulkan kepanikan dan kekacauan ketika sekelompok pengungsi lainnya mencoba menghentikan ambulans,” ujar Hamilton yang berada di lokasi ketika insiden itu terjadi.
Hamilton menjelaskan lebih jauh latar belakang yang membuat pihak berwenang Indonesia memaksa pengungsi perempuan itu memeriksakan diri ke rumah sakit. Menurutnya, ini berawal ketika empat perempuan dan enam laki-laki yang berusia antara 14 hingga 28 tahun dilaporkan berupaya meninggalkan kamp penampungan itu Senin malam (28/9) karena ingin pergi ke Malaysia, di mana sejumlah besar warga Muslim-Rohingya berada.
Sekelompok warga Indonesia bertopeng menghentikan langkah mereka tidak jauh dari kamp penampungan tersebut dan mereka dipaksa masuk ke dalam hutan, di mana mereka dipukuli dan tiga perempuan diperkosa, termasuk seorang anak perempuan berusia 14 tahun.
Kapolres Lhokseumawe Letkol. Anang Triarsono mengatakan, “Ketika mereka kembali ke kamp penampungan itu, kabar tentang penyiksaan dan penganiayaan seksual yang dilakukan warga lokal itu sudah menyebar di kamp itu.”
Kemarahan memuncak Selasa siang ketika sekelompok warga Rohingya keluar dari kamp penampungan dengan membawa gulungan pakaian dan pasokan lain.
"Mereka kemudian berhasil dibujuk untuk kembali," tambahnya.
Juru bicara pemerintah kota Lhokseumawe, Aceh Utara Amir Hamzah menyesalkan hal ini.
“Kami sangat menyesalkan insiden ini dan tentu saja akan menyelidikinya secara seksama”, ujar Hamzah.
Ia menambahkan, pengungsi perempuan sebenarnya menderita trauma dan ingin mendapat pertolongan medis, tetapi dihentikan oleh pengungsi laki-laki yang berkeras memaksa mereka supaya tetap tinggal di kamp penampungan itu.
Setelah ketegangan mereda Selasa (29/9) malam, petugas-petugas imigrasi bekerja keras mengidentifikasi setiap orang yang kembali ke kamp penampungan dan beberapa pengungsi perempuan dibawa ke rumah sakit, demikian ujar Wakil Kepala Polisi Aceh Utara Mayjen Polisi Irsyad Haryadi. Ditambahkannya, “kami masih menyelidiki kasus serius ini sementara menunggu hasil pemeriksaan rumah sakit”.
Belum ada satu orang pun yang ditangkap dan Haryadi mengatakan sulit menemukan saksi mata untuk memastikan kebenaran cerita pemukulan dan perkosaan tersebut.
Sejak berakhirnya kepemimpinan militer di Myanmar tahun 2011, sekitar 130 ribu warga Muslim-Rohingya melarikan diri dari aksi kekerasan, menimbulkan eksodus terbesar lewat laut ke Asia sejak Perang Vietnam.
Awal tahun ini, situasi itu memuncak setelah penumpasan para penyelundup di Thailand dan Malaysia membuat ribuan warga Muslim-Rohingya dan Bangladesh terlantar di laut. Agen dan kapten kapal yang takut ditangkap pihak berwenang, melarikan diri dan meninggalkan mereka di tengah laut.
Bulan Mei lalu beberapa negara di kawasan menolak mengijinkan manusia perahu ini memasuki wilayah mereka karena khawatir dengan kemungkinan terjadinya arus masuk secara besar-besaran.
Tekanan internasional membuat Indonesia dan Malaysia akhirnya mengijinkan kapal-kapal pengungsi itu mendarat di wilayah mereka dan mengatakan akan menampung untuk sementara waktu para pengungsi tersebut hingga ada solusi yang lebih permanen. Ratusan warga Rohingya akhirnya tinggal di Aceh, Indonesia, negara yang sebenarnya bukan merupakan tujuan mereka. Mereka ditampung di beberapa kamp, tidak diijinkan bekerja dan terpisah dari keluarga yang sebagian besar tinggal di Malaysia.
Sumber : VOA Indonesia
Warga Rohingya lainnya tidak ingin perempuan itu pergi ke rumah sakit, karena khawatir ia akan dianiaya lebih jauh jika terpisah dari kelompok tersebut.
"Ini menimbulkan kepanikan dan kekacauan ketika sekelompok pengungsi lainnya mencoba menghentikan ambulans,” ujar Hamilton yang berada di lokasi ketika insiden itu terjadi.
Hamilton menjelaskan lebih jauh latar belakang yang membuat pihak berwenang Indonesia memaksa pengungsi perempuan itu memeriksakan diri ke rumah sakit. Menurutnya, ini berawal ketika empat perempuan dan enam laki-laki yang berusia antara 14 hingga 28 tahun dilaporkan berupaya meninggalkan kamp penampungan itu Senin malam (28/9) karena ingin pergi ke Malaysia, di mana sejumlah besar warga Muslim-Rohingya berada.
Sekelompok warga Indonesia bertopeng menghentikan langkah mereka tidak jauh dari kamp penampungan tersebut dan mereka dipaksa masuk ke dalam hutan, di mana mereka dipukuli dan tiga perempuan diperkosa, termasuk seorang anak perempuan berusia 14 tahun.
Kapolres Lhokseumawe Letkol. Anang Triarsono mengatakan, “Ketika mereka kembali ke kamp penampungan itu, kabar tentang penyiksaan dan penganiayaan seksual yang dilakukan warga lokal itu sudah menyebar di kamp itu.”
Kemarahan memuncak Selasa siang ketika sekelompok warga Rohingya keluar dari kamp penampungan dengan membawa gulungan pakaian dan pasokan lain.
"Mereka kemudian berhasil dibujuk untuk kembali," tambahnya.
Juru bicara pemerintah kota Lhokseumawe, Aceh Utara Amir Hamzah menyesalkan hal ini.
“Kami sangat menyesalkan insiden ini dan tentu saja akan menyelidikinya secara seksama”, ujar Hamzah.
Ia menambahkan, pengungsi perempuan sebenarnya menderita trauma dan ingin mendapat pertolongan medis, tetapi dihentikan oleh pengungsi laki-laki yang berkeras memaksa mereka supaya tetap tinggal di kamp penampungan itu.
Setelah ketegangan mereda Selasa (29/9) malam, petugas-petugas imigrasi bekerja keras mengidentifikasi setiap orang yang kembali ke kamp penampungan dan beberapa pengungsi perempuan dibawa ke rumah sakit, demikian ujar Wakil Kepala Polisi Aceh Utara Mayjen Polisi Irsyad Haryadi. Ditambahkannya, “kami masih menyelidiki kasus serius ini sementara menunggu hasil pemeriksaan rumah sakit”.
Belum ada satu orang pun yang ditangkap dan Haryadi mengatakan sulit menemukan saksi mata untuk memastikan kebenaran cerita pemukulan dan perkosaan tersebut.
Sejak berakhirnya kepemimpinan militer di Myanmar tahun 2011, sekitar 130 ribu warga Muslim-Rohingya melarikan diri dari aksi kekerasan, menimbulkan eksodus terbesar lewat laut ke Asia sejak Perang Vietnam.
Awal tahun ini, situasi itu memuncak setelah penumpasan para penyelundup di Thailand dan Malaysia membuat ribuan warga Muslim-Rohingya dan Bangladesh terlantar di laut. Agen dan kapten kapal yang takut ditangkap pihak berwenang, melarikan diri dan meninggalkan mereka di tengah laut.
Bulan Mei lalu beberapa negara di kawasan menolak mengijinkan manusia perahu ini memasuki wilayah mereka karena khawatir dengan kemungkinan terjadinya arus masuk secara besar-besaran.
Tekanan internasional membuat Indonesia dan Malaysia akhirnya mengijinkan kapal-kapal pengungsi itu mendarat di wilayah mereka dan mengatakan akan menampung untuk sementara waktu para pengungsi tersebut hingga ada solusi yang lebih permanen. Ratusan warga Rohingya akhirnya tinggal di Aceh, Indonesia, negara yang sebenarnya bukan merupakan tujuan mereka. Mereka ditampung di beberapa kamp, tidak diijinkan bekerja dan terpisah dari keluarga yang sebagian besar tinggal di Malaysia.
Sumber : VOA Indonesia
Post A Comment
No comments :