Peliknya menyatukan tokoh-tokoh Marvel dalam film
KantoMaya News -- Menyatukan berbagai tokoh komik Marvel semisal Deadpool berhadapan dengan Black Panther dalam satu film mungkin menjanjikan keseruan bagi penonton. Namun sangat susah merealisasikan hal tersebut karena terhalang tembok tebal bernama kontrak.
Itu kenapa keinginan Joe Russo (sutradara Captain America: Civil War dan The Avengers: Infinity War) menampilkan Wolverine dalam Marvel Cinematic Universe susah terwujud.
Untuk memahami pangkal persoalan kontrak yang dimaksud, kita harus kembali menengok kejadian yang terjadi pada 27 Desember 1996.
Saat itu Marvel Comics (induk Marvel Entertainment) berada dalam ambang kebangkrutan. Untuk menyelamatkan diri, Marvel lantas menjual lisensi penggunaan karakter-karakter komiknya kepada perusahaan lain.
Melego satu per satu tokoh pahlawan super Marvel yang selama ini telah menjadi bagian dari budaya populer ke industri film menjadi opsi.
Blade menyeberang ke New Line Cinema (kini sudah kembali milik Marvel), Man-Thing menjadi milik Lionsgate Entertainment, Sony Pictures mendapatkan lisensi Spider-Man dan berbagai karakter lain terkait dengannya -termasuk Sinister Six yang sempat mau dibuatkan film tersendiri, dan 20th Century Fox sebagai pembeli tokoh komik Marvel terbanyak.
Anak perusahaan milik 21st Century Fox tersebut bukan sekadar membeli hak produksi dan distribusi film semua yang berhubungan dengan X-Men dan Fantastic Four, tapi juga memastikan kata "mutant" hanya boleh digunakan oleh mereka.
Itu sebabnya tokoh Quicksilver dan Scarlet Witch yang sempat muncul dalam film Avengers: Age of Ultron (2015) tidak disebutkan sebagai mutant, tapi mendapatkan kekuatan supernya dari hasil uji coba HYDRA (organisasi rahasia yang jadi rival S.H.I.E.L.D. dalam jagat komik Marvel).
Perusahaan lain yang membantu menyelamatkan Marvel adalah Universal Pictures. Mereka membeli hak distribusi film Hulk dan Namor pada 2001. Sementara jatah Paramount Pictures adalah mendistribusikan film-film Marvel Cinematic Universe Fase 1 yang dimulai dari Iron Man (2008) hingga Captain America: First Avenger (2011).
Bentuk kontrak Marvel bersama studio film lainnya menggunakan prosedur jamak yang berlaku di Hollywood. Prosedur tersebut, mengacu pada tulisan Brian Cronin dalam laman Huffington Post (26/1), adalah penggunaan hak produksi dan distribusi.
Otoritas memproduksi dan mendistribusikan film yang berhubungan dengan X-Men dan Fantastic Four tetap dipertahankan 20th Century Fox hingga sekarang. Berbeda dengan Sony Pictures yang mulai bersikap longgar kepada Marvel.
Lihat saja film terbaru Captain America: Civil War yang turut menampilkan Spider-Man. Pun dalam film tersendiri Spider-Man: Homecoming (rilis Juli 2017) akan ikut menampilkan Iron Man.
Bentuk kerja sama baru yang terjalin antara Marvel --yang kini dibeli Disney seharga USD4 miliar pada 2009-- dengan Sony Pictures diteken awal tahun 2015.
Kecuali bahwa penggunaan figur Spider-Man bisa melintasi jagat sinema Marvel, hal-hal lain seperti proses kreatif, pendistribusian, dan pembiayaan segala bentuk film solo tentang sosok yang bernama asli Peter Parker itu tetap berada dalam kendali penuh Sony.
Berbeda dengan sikap Universal Pictures yang kukuh tidak mau menyerahkan hak distribusi Hulk. Posisi tersebut membuat sang raksasa hijau yang diperankan Mark Ruffalo ini seolah terbelenggu.
Ia bisa tetap bisa hadir dalam dua film Avengers, namun tidak bisa beraksi sendirian dalam sebuah film karena Disney enggan memproduksi film tanpa kepemilikan hak distribusi.
Situasi serupa juga terjadi pada Namor, bahkan lebih pelik. Alih-alih membuatkannya film tersendiri, Marvel dan Disney bahkan kesulitan menampilkan figur yang memiliki kekuatan mirip Aquaman dalam komik DC itu.
"Ada klausul kontrak lama tentang Namor yang melibatkan pihak ketiga. Itu membuat kami berada dalam situasi sulit," ungkap Kevin Feige, President Marvel Entertainment, kepada IGN (2014).
Klausul tersebut tampaknya berbeda dengan yang ditandatangani Marvel dengan 21st Century Fox. Tech Times menulis bahwa jika dalam jangka tujuh tahun tidak ada film tentang Fantastic Four yang dirilis, otomatis hak adaptasinya kembali ke tangan Marvel.
Untuk mengetahui ke mana saja alur kepemilikan figur pahlawan super dalam komik Marvel dalam ranah film, silakan lihat infografik di bawah ini.
Itu kenapa keinginan Joe Russo (sutradara Captain America: Civil War dan The Avengers: Infinity War) menampilkan Wolverine dalam Marvel Cinematic Universe susah terwujud.
Untuk memahami pangkal persoalan kontrak yang dimaksud, kita harus kembali menengok kejadian yang terjadi pada 27 Desember 1996.
Saat itu Marvel Comics (induk Marvel Entertainment) berada dalam ambang kebangkrutan. Untuk menyelamatkan diri, Marvel lantas menjual lisensi penggunaan karakter-karakter komiknya kepada perusahaan lain.
Melego satu per satu tokoh pahlawan super Marvel yang selama ini telah menjadi bagian dari budaya populer ke industri film menjadi opsi.
Blade menyeberang ke New Line Cinema (kini sudah kembali milik Marvel), Man-Thing menjadi milik Lionsgate Entertainment, Sony Pictures mendapatkan lisensi Spider-Man dan berbagai karakter lain terkait dengannya -termasuk Sinister Six yang sempat mau dibuatkan film tersendiri, dan 20th Century Fox sebagai pembeli tokoh komik Marvel terbanyak.
Anak perusahaan milik 21st Century Fox tersebut bukan sekadar membeli hak produksi dan distribusi film semua yang berhubungan dengan X-Men dan Fantastic Four, tapi juga memastikan kata "mutant" hanya boleh digunakan oleh mereka.
Itu sebabnya tokoh Quicksilver dan Scarlet Witch yang sempat muncul dalam film Avengers: Age of Ultron (2015) tidak disebutkan sebagai mutant, tapi mendapatkan kekuatan supernya dari hasil uji coba HYDRA (organisasi rahasia yang jadi rival S.H.I.E.L.D. dalam jagat komik Marvel).
Perusahaan lain yang membantu menyelamatkan Marvel adalah Universal Pictures. Mereka membeli hak distribusi film Hulk dan Namor pada 2001. Sementara jatah Paramount Pictures adalah mendistribusikan film-film Marvel Cinematic Universe Fase 1 yang dimulai dari Iron Man (2008) hingga Captain America: First Avenger (2011).
Bentuk dan nilai kontrak
Besaran uang yang didapat Marvel dari penjualan berbagai propertinya jarang diungkap ke media. Kecuali saat Marvel menjual hak penggunaan Spider-Man kepada Sony Pictures pada 1999 yang bernilai USD7 juta (Rp92 miliar menggunakan kurs sekarang).Bentuk kontrak Marvel bersama studio film lainnya menggunakan prosedur jamak yang berlaku di Hollywood. Prosedur tersebut, mengacu pada tulisan Brian Cronin dalam laman Huffington Post (26/1), adalah penggunaan hak produksi dan distribusi.
Otoritas memproduksi dan mendistribusikan film yang berhubungan dengan X-Men dan Fantastic Four tetap dipertahankan 20th Century Fox hingga sekarang. Berbeda dengan Sony Pictures yang mulai bersikap longgar kepada Marvel.
Lihat saja film terbaru Captain America: Civil War yang turut menampilkan Spider-Man. Pun dalam film tersendiri Spider-Man: Homecoming (rilis Juli 2017) akan ikut menampilkan Iron Man.
Bentuk kerja sama baru yang terjalin antara Marvel --yang kini dibeli Disney seharga USD4 miliar pada 2009-- dengan Sony Pictures diteken awal tahun 2015.
Kecuali bahwa penggunaan figur Spider-Man bisa melintasi jagat sinema Marvel, hal-hal lain seperti proses kreatif, pendistribusian, dan pembiayaan segala bentuk film solo tentang sosok yang bernama asli Peter Parker itu tetap berada dalam kendali penuh Sony.
Berbeda dengan sikap Universal Pictures yang kukuh tidak mau menyerahkan hak distribusi Hulk. Posisi tersebut membuat sang raksasa hijau yang diperankan Mark Ruffalo ini seolah terbelenggu.
Ia bisa tetap bisa hadir dalam dua film Avengers, namun tidak bisa beraksi sendirian dalam sebuah film karena Disney enggan memproduksi film tanpa kepemilikan hak distribusi.
Situasi serupa juga terjadi pada Namor, bahkan lebih pelik. Alih-alih membuatkannya film tersendiri, Marvel dan Disney bahkan kesulitan menampilkan figur yang memiliki kekuatan mirip Aquaman dalam komik DC itu.
"Ada klausul kontrak lama tentang Namor yang melibatkan pihak ketiga. Itu membuat kami berada dalam situasi sulit," ungkap Kevin Feige, President Marvel Entertainment, kepada IGN (2014).
Klausul tersebut tampaknya berbeda dengan yang ditandatangani Marvel dengan 21st Century Fox. Tech Times menulis bahwa jika dalam jangka tujuh tahun tidak ada film tentang Fantastic Four yang dirilis, otomatis hak adaptasinya kembali ke tangan Marvel.
Untuk mengetahui ke mana saja alur kepemilikan figur pahlawan super dalam komik Marvel dalam ranah film, silakan lihat infografik di bawah ini.
beritagar.id
Post A Comment
No comments :