INTERNASIONAL

[internasional][bleft]

NASIONAL

[nasional][bleft]

ACEH

[aceh][bleft]

TEKNOLOGI

[teknologi][threecolumns]

EKONOMI

[ekonomi][bleft]

SPORT

[sport][threecolumns]

Burkini, bersimpang tudingan islamofobia dan antisipasi terorisme

Burkini, bersimpang tudingan islamofobia dan antisipasi terorisme
KantoMaya News -- Seorang perempuan tengah bersantai di pinggir pantai. Ia mengenakan jilbab, yang berpadu dengan tunik berwarna biru, dan legging. Semua tampak baik-baik saja, sebelum empat orang polisi mendatanginya.

Para polisi memintanya menanggalkan jilbab dan tunik. Seorang polisi juga terlihat mengeluarkan kertas, mencatat, dan mengeluarkan tanda denda untuk perempuan itu.

Mereka berdalih menegakkan larangan memakai burqini (atau burkini), jenis pakaian renang yang desainnya terinspirasi tradisi berpakaian perempuan muslim.

Peristiwa itu terjadi di Promenade des Anglais, satu wilayah di pesisir Nice, Prancis. Lokasinya tak jauh dari titik serangan truk yang menabrak kerumunan orang --menewaskan 86 jiwa-- pada Juli silam.


Foto-foto peristiwa tersebut menjadi sorotan media. Khalayak internet turut menyebar dan mengkritik perlakuan polisi, yang dituding rasial serta menyalahi hak asasi.

Perempuan dalam foto-foto nan viral itu bernama Siam (34). Dia adalah seorang ibu beranak dua, yang berdomisili di Toulouse, Prancis. Dalam peristiwa itu, Siam dikenakan denda 11 euro (sekitar Rp165 ribu)

Saat peristiwa itu terjadi Siam tengah bersantai dengan keluarganya. Siam, seperti dikutipBBC World Service, menjelaskan bahwa kala itu dia sekadar menggunakan pakaian sehari-hari, lengkap dengan jilbab --bukan burkini.

Siam mengaku diminta membuka jilbab, tapi masih diperbolehkan menggunakannya sebagai penutup kepala --seperti bandana. Walhasil hanya rambutnya yang tertutup, sedangkan lehernya terbuka.

Siam mengaku sedih karena peristiwa itu. "Hal yang paling menyedihkan, saat orang-orang menyoraki 'pulang'. Ada pula yang bertepuk tangan untuk polisi," kata Siam, dikutipThe Guardian. Bahkan salah seorang putrinya menangis karena peristiwa itu.

Burkini, bersimpang tudingan islamofobia dan antisipasi terorisme
Protes para aktivis Inggris terhadap larangan menggunakan burkini di London (25 Agustus 2016). Frank Augstein /AP Photo

Mengenai larangan burkini di Prancis

Belakangan, pemerintah Nice mengeluarkan surat edaran yang memuat larangan penyebaran foto-foto tindakan aparat terhadap Siam. Mereka menyebut penyebaran foto itu sebagai bentuk pencemaran nama baik dan ancaman terhadap petugas kepolisian.

Merujuk laporan BBC, setidaknya ada 26 kota di Prancis yang melarang penggunaan burkini di tempat umum. Larangan itu terutama berlaku di wilayah selatan Prancis --terkenal dengan keindahan pantai-- termasuk Nice.

Ada banyak alasan pelarangan, misalnya: larangan menggunakan pakaian sehari-hari saat berenang, menghormati sekularisme, dan menghormati aturan kebersihan. Argumen paling ekstrem: burkini adalah simbol ekstrimisme Islam.

The New York Times menulis, sejumlah organisasi masyarakat sipil, semisal Kolektif Anti-Islamofobia dan Liga Hak Asasi Manusia di Prancis sudah mengajukan keberatan atas aturan itu melalui pengadilan lokal. Namun sejauh ini larangan mengenakan burkini masih berlaku.


Adapun survei yang dilakukan Institut Opini Publik Prancis (IFOP), menyebut bahwa 64 persen warga Prancis mendukung larangan ini. Sedangkan 30 persen warga mengaku tak peduli. Hanya sekitar 6 persen, yang menyatakan tak berkeberatan dengan burkini.

Peraturan ini juga menjadi polemik di lingkungan pemerintah Prancis. Perdana Menteri Prancis, Manuel Valls mengatakan bahwa larangan burkini adalah bagian dari pertempuran budaya. Ia pun menyebut pakaian renang itu sebagai bentuk "perbudakan perempuan" --dipaksa untuk menutup tubuhnya.

Valls juga menyebutnya sebagai simbol islam radikal. "Kita harus mengobarkan perjuangan melawan Islam radikal. Menyaring simbol-simbol agama yang masuk di ruang publik," kata Valls, seperti dilansir BFM-TV (h/t Deutsche Welle).

Pandangan Valls itu ditentang Menteri Pendidikan, Najat Vallaud-Belkacem. Ia menyebut larangan menggunakan burkini adalah bentuk rasialisme.

Sebagai feminis dan tokoh Partai Sosialis, Vallaud-Belkacem mengaku punya mimpi soal masyarakat yang menghargai kebebasan perempuan atas tubuh mereka --termasuk kebebasan memilih pakaian.

Ihwal argumen soal antisipasi serangan teroris, Vallaud-Belkacem malah menganggapnya memperkeruh suasana. "Kita seharusnya tidak menyiram minyak ke api," kata perempuan yang tumbuh di lingkungan keluarga muslim Maroko itu, dilansir The Guardian.

Informasi penting soal burkini juga datang dari perancangnya, Aheda Zanetti. Perempuan Libanon yang berbasis di Australia itu menyebut penjualan burkini justru meningkat hingga 200 persen pasca-insiden di Nice, Prancis.

Seperti dilansir Politico, Zanetti mengklaim pakaian itu tidak ada kaitannya dengan Islam. Sebaliknya, pakaian itu hadir untuk memberikan kebebasan kepada perempuan untuk memilih model pakaian yang nyaman. Konon 40 persen dari konsumen burkini justru kalangan non-muslim.

"Komunitas Yahudi menggunakannya. Aku pernah melihat kaum Mormon memakainya. Seorang biarawati Buddha memborong untuk teman-temannya. Aku pernah melihat perempuan yang memiliki masalah dengan kanker kulit atau citra tubuh. Ibu (atau) perempuan yang tidak nyaman mengekspos mereka kulit mereka --semua mengenakannya," ujarnya.

Beritagar.id
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :