Kemerdekaan bagi Orang dengan Gangguan Jiwa
KantoMaya News, JAKARTA - Di tengah kemeriahan Hari Kemerdekaan bangsa ini, masih ada orang-orang tak merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya akibat dipasung atau dikurung dan dibiarkan di jalan. Mereka adalah orang dengan gangguan jiwa yang tak mendapat pelayanan kesehatan dengan baik.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, sekitar 57.000 orang dengan gangguan jiwa dipasung. Angka tersebut bisa jadi hanya fenomena gunung es. Minimnya pemahaman keluarga, stigma di masyarakat, kurangnya pelayanan kesehatan, hingga sulitnya akses obat turut menjadi faktor terjadinya pemasungan.
Pemasungan barangkali tak hanya dilakukan oleh keluarga, tetapi juga terjadi di panti sosial. Banyak orang dengan gangguan jiwa dirantai, disiksa, dimasukkan dalam kandang, dan hanya menjalani keseharian di atas lantai kosong, mulai dari tidur hingga buang air kecil. Ada pula yang disembunyikan atau dikurung oleh keluarga karena rasa malu atau dianggap berbahaya.
Ketahuilah, orang dengan gangguan jiwa berat bisa diatasi secara medis. Mereka bisa kembali beraktivitas seperti biasa jika ditangani dengan baik. Apalagi jika terdeteksi dini dan langsung mendapat pengobatan.
Tentu bukan dengan pergi ke dukun, pengobatan alternatif, atau orang pintar karena masalah gangguan jiwa ada pada otak manusia bukan karena gangguan setan, jin, atau sejenisnya.
Jika pasien gangguan jiwa harus minum obat seumur hidup agar kesehatannya selalu stabil, maka tak beda jauh dengan pasien diabetes atau hipertensi yang juga minum obat seumur hidup agar gula darah dan tekanan darah terkontrol.
Ketua Komunitas Peduli Skizofrenia (KPSI) Bagus Utomo, menyampaikan, pasien skizofrenia maupun gangguan jiwa lainnya dapat merasakan makna kemerdekaan yang sesungguhnya jika bebas dari stigma dan diskriminasi.
Jangan sebut mereka “orang gila”, jangan memandang rendah, dan jangan menyingkirkan orang-orang dengan gangguan jiwa. Gangguan jiwa dapat terjadi pada siapa saja, tak memandang status ekonomi, sosial, dan pendidikan.
Diskriminasi dan pembiaran justru meningkatkan beban pemerintah karena pasien skizofrenia umumnya berada di usia produktif. Tetapi, jika diobati, mereka bisa kembali produktif.
Bagus mengungkapkan, banyak pasien skizofrenia yang kembali bekerja dan berkeluarga setelah menjalani pengobatan yang baik. Sayangnya, masalah gangguan jiwa masih dipandang sebelah mata.
“Pasien yang terlantar di jalan, dipasung, di panti-panti liar itu akibat penelantaran isu kesehatan jiwa berpuluh-puluh tahun,” kata Bagus.
Adanya dukungan KPSI sangat berarti bagi keluarga maupun pasien skizofrenia. Mereka tak akan merasa sendirian dan bisa saling bertukar informasi. Edukasi kesehatan jiwa yang terus disebarkan oleh KPSI setidaknya dapat mengurangi stigma dan diskriminasi.
Sebab, menangani orang dengan gangguan jiwa tak cukup hanya dengan minum obat. Mereka butuh dukungan psikososial agar dapat kembali produktif.
“Mereka butuh lingkungan yang baik, harus dipikirkan bagaimana pekerjaannya nanti. Kalau tidak, orang produktif bisa disabilitas. Ini melumpuhkan fungsi seseorang yang sudah hidup di dunia, “ kata Bagus.
Menurut Bagus, akses obat-obatan skizofrenia yang berkualitas belum merata di setiap daerah. Di samping itu, harganya pun masih sangat mahal dan belum dijamin BPJS Kesehatan. Dengan tidak tersedianya obat yang memadai, pengobatan pasien menjadi tidak optimal.
Sayangnya, masalah kesehatan jiwa nampaknya belum menjadi prioritas pemerintah. Tidak diperhatikannya masalah kesehatan jiwa sama saja meningkatkan beban ekonomi pemerintah.
Pemerintah akan menerima beban ganda, yaitu dari pasien gangguan jiwa dan keluarga yang ikut kehilangan produktivitasnya karena harus bolak-balik mengurusi pasien. Menurut Bagus, mereka berhak mendapat jaminan sosial.
Namun, sistem layanan kesehatan harus diperkuat dulu saat ini dan gencar melakukan promotif dan preventif. Menurut Bagus, sangat penting adanya panti bina laras di setiap provinsi atau fasilitas rehabilitasi psikososial yang layak untuk pasien, yang memanusiakan manusia. Masalah kesehatan jiwa itu nyata di sekitar kita.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, sekitar 57.000 orang dengan gangguan jiwa dipasung. Angka tersebut bisa jadi hanya fenomena gunung es. Minimnya pemahaman keluarga, stigma di masyarakat, kurangnya pelayanan kesehatan, hingga sulitnya akses obat turut menjadi faktor terjadinya pemasungan.
Pemasungan barangkali tak hanya dilakukan oleh keluarga, tetapi juga terjadi di panti sosial. Banyak orang dengan gangguan jiwa dirantai, disiksa, dimasukkan dalam kandang, dan hanya menjalani keseharian di atas lantai kosong, mulai dari tidur hingga buang air kecil. Ada pula yang disembunyikan atau dikurung oleh keluarga karena rasa malu atau dianggap berbahaya.
Ketahuilah, orang dengan gangguan jiwa berat bisa diatasi secara medis. Mereka bisa kembali beraktivitas seperti biasa jika ditangani dengan baik. Apalagi jika terdeteksi dini dan langsung mendapat pengobatan.
Tentu bukan dengan pergi ke dukun, pengobatan alternatif, atau orang pintar karena masalah gangguan jiwa ada pada otak manusia bukan karena gangguan setan, jin, atau sejenisnya.
Jika pasien gangguan jiwa harus minum obat seumur hidup agar kesehatannya selalu stabil, maka tak beda jauh dengan pasien diabetes atau hipertensi yang juga minum obat seumur hidup agar gula darah dan tekanan darah terkontrol.
Bebas stigma dan diskriminasi
Tak dapat dipungkiri, terjadinya pemasungan, penelantaran atau pembiaran terhadap orang dengan gangguan jiwa salah satunya akibat stigma dan diskriminasi. Dua masalah ini sangat menghambat proses pengobatan pasien.Ketua Komunitas Peduli Skizofrenia (KPSI) Bagus Utomo, menyampaikan, pasien skizofrenia maupun gangguan jiwa lainnya dapat merasakan makna kemerdekaan yang sesungguhnya jika bebas dari stigma dan diskriminasi.
Jangan sebut mereka “orang gila”, jangan memandang rendah, dan jangan menyingkirkan orang-orang dengan gangguan jiwa. Gangguan jiwa dapat terjadi pada siapa saja, tak memandang status ekonomi, sosial, dan pendidikan.
Diskriminasi dan pembiaran justru meningkatkan beban pemerintah karena pasien skizofrenia umumnya berada di usia produktif. Tetapi, jika diobati, mereka bisa kembali produktif.
Bagus mengungkapkan, banyak pasien skizofrenia yang kembali bekerja dan berkeluarga setelah menjalani pengobatan yang baik. Sayangnya, masalah gangguan jiwa masih dipandang sebelah mata.
“Pasien yang terlantar di jalan, dipasung, di panti-panti liar itu akibat penelantaran isu kesehatan jiwa berpuluh-puluh tahun,” kata Bagus.
Adanya dukungan KPSI sangat berarti bagi keluarga maupun pasien skizofrenia. Mereka tak akan merasa sendirian dan bisa saling bertukar informasi. Edukasi kesehatan jiwa yang terus disebarkan oleh KPSI setidaknya dapat mengurangi stigma dan diskriminasi.
Sebab, menangani orang dengan gangguan jiwa tak cukup hanya dengan minum obat. Mereka butuh dukungan psikososial agar dapat kembali produktif.
“Mereka butuh lingkungan yang baik, harus dipikirkan bagaimana pekerjaannya nanti. Kalau tidak, orang produktif bisa disabilitas. Ini melumpuhkan fungsi seseorang yang sudah hidup di dunia, “ kata Bagus.
Akses kesehatan jiwa
Bagus menambahkan, kemerdekaan bagi mereka pun jika mudah mengakses layanan kesehatan jiwa. Mereka berhak mendapat pengobatan yang berkualitas dan fasilitas pelayanan kesehatan.Menurut Bagus, akses obat-obatan skizofrenia yang berkualitas belum merata di setiap daerah. Di samping itu, harganya pun masih sangat mahal dan belum dijamin BPJS Kesehatan. Dengan tidak tersedianya obat yang memadai, pengobatan pasien menjadi tidak optimal.
Sayangnya, masalah kesehatan jiwa nampaknya belum menjadi prioritas pemerintah. Tidak diperhatikannya masalah kesehatan jiwa sama saja meningkatkan beban ekonomi pemerintah.
Pemerintah akan menerima beban ganda, yaitu dari pasien gangguan jiwa dan keluarga yang ikut kehilangan produktivitasnya karena harus bolak-balik mengurusi pasien. Menurut Bagus, mereka berhak mendapat jaminan sosial.
Namun, sistem layanan kesehatan harus diperkuat dulu saat ini dan gencar melakukan promotif dan preventif. Menurut Bagus, sangat penting adanya panti bina laras di setiap provinsi atau fasilitas rehabilitasi psikososial yang layak untuk pasien, yang memanusiakan manusia. Masalah kesehatan jiwa itu nyata di sekitar kita.
Labels
kesehatan
Post A Comment
No comments :