Berapa mahar untuk maju di Pilkada?
KantoMaya News -- Pilkada serentak akan digelar pada Februari 2017. Setahun lagi, 94 kabupaten/kota dan delapan provinsi akan memilih pemimpin. Sejatinya, Pilkada serentak ini hendak menyingkat biaya penyelenggaraan pemilihan. Namun, tetap saja, pesta demokrasi ini tak lepas dari jual beli dukungan. Partai politik biasanya akan meminta mahar dari calon. Istilahnya disebut uang ongkos naik perahu.
Wakil Direktur Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi Veri Junaidi menilai, imbas politik yang muncul adalah adanya politik uang dalam bentuk "ongkos perahu" yang diberikan pasangan calon kepada partai politik yang memang berhak untuk mencalonkan.
Inilah politik uang pertama sekaligus kentara dalam pilkada. Pencalonan yang hanya mempertimbangkan "ongkos perahu" mengecewakan masyarakat karena calon yang diinginkan tidak masuk daftar calon.
Praktik mahar ini diduga kuat masih ada, walau susah dibuktikan. Amzulian Rifai, Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya menilai, mahar politik biasanya memakai dua modus. Modus pertama, atas nama dana survei. Dalam pilkada, survei menjadi senjata pamungkas sebelum mengusung kandidat. Tapi, terkadang atas nama survei juga digunakan untuk menjustifikasi kandidat tertentu.
Kedua, uang mahar dapat juga menjelma dalam bentuk atas nama kontribusi untuk partai. Oknum yang mengatasnamakan partai secara terang-terangan meminta kepada kandidat soal berapa kesanggupannya untuk berkontribusi apabila dicalonkan oleh partai.
Sejatinya, hukum melarang dan jelas mengancam praktik jual beli dukungan ini. Tiga ayat dalam Pasal 47 UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota melarang partai atau gabungan partai menerima imbalan dari bentuk apapun pada proses pencalonan. Jika terbukti menerima imbalan, maka dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama. Selain itu, partai atau gabungan partai penerima didenda sebesar 10 kali lipat dari nilai imbalan yang diterima.
Aroma mahar politik ini sudah mulai tercium. Dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta, bakal calon Gubernur Basuki Tjahaya Purnama menegaskan enggan membayar mahar kepada partai politik agar dapat kembali terpilih menjadi orang nomor satu di Jakarta. "Partai tidak minta mahar pun, saya tidak ada uang," ujarnya, Kamis (10/3), seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Menurut Ahok, mahar yang biasa ditetapkan partai politik biasanya berkisar antara Rp100 miliar hingga Rp200 miliar. Menurut Ahok, dari pada buat mahar, lebih baik sumbangan itu diberikan buat orang Jakarta. "Nyumbang bus atau apalah, saya nggak jadi gubernur pun, orang Jakarta dapat menikmati," tuturnya.
Tahun lalu, pasangan Asmadi dan Jisman batal maju sebagai calon Bupati dan Wakil Bupati dalam pilkada 2015 Toba Samosir, Sumatera Utara. Di Jakarta, seperti dilansir Sindonews.com Agustus tahun lalu, mereka mengaku terganjal pencalonannya karena tak sanggup memenuhi permintaan mahar oleh partai pengusungnya. Dua di antara partai pendukung meminta dana Rp1,6 miliar dan Rp2,5 miliar.
Ketua DPW Partai Nasdem, Maret tahun lalu, mengaku menolak pemberian mahar Rp1 miliar yang diberikan seseorang yang mengajukan diri sebagai calon gubernur dari partai itu.
Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin, dalam sidang kasus tersangka kasus dugaan suap impor daging sapi dan Pencucian Uang September 2013, mengaku menyetor Rp8 miliar kepada PKS lewat Ahmad Fathanah.
Duit itu untuk meraih dukungan dari PKS dan pemenangan pasangan Ilham Arief Sirajuddin-Azis Kahar Muzakar, dalam ajang Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sulawesi Selatan 2012. Hasilnya ia kalah. Awalnya Ilham diminta untuk menyetor Rp10 miliar. "Akhirnya saya negosiasi dan tercapai kesepakatan di angka Rp 8 miliar," ujar Ilham seperti dikutip dari Merdeka.com.
Ahok mengaku pernah mengelontorkan Rp2 miliar saat ia mencalonkan diri dalam Pilkada Belitung Timur. Uang tersebut digunakan untuk pembinaan partai."Istilah mereka, untuk uang kantor dan semacamnya," ujar Ahok, Kamis (19/9/2013) dinukil dari Merdeka.com.
Direktur Eksekutif Populi Center, Nico Hardjanto menilai, maraknya praktik mahar politik, disebabkan proses dan manajemen rekruitmen partai yang buruk dan tidak demokratis. Undang-Undang Pilkada dan Undang-Undang Parpol juga turut mencitptakan kondisi maraknya praktik mahar politik. "Karena setiap bakal calon dapat menjadi calon kepala daerah jika sudah memenuhi 20 persen kursi DPRD di daerah bersangkutan," kata Nico seperti dikutip dari Beritasatu.com. Kuota perolehan 20 persen kursi inilah yang dimanfaatkan oknum parpol untuk mendapatkan mahar politik. Sehingga setiap kursi mereka jual dengan harga tertentu.
Wakil Direktur Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi Veri Junaidi menilai, imbas politik yang muncul adalah adanya politik uang dalam bentuk "ongkos perahu" yang diberikan pasangan calon kepada partai politik yang memang berhak untuk mencalonkan.
Inilah politik uang pertama sekaligus kentara dalam pilkada. Pencalonan yang hanya mempertimbangkan "ongkos perahu" mengecewakan masyarakat karena calon yang diinginkan tidak masuk daftar calon.
Praktik mahar ini diduga kuat masih ada, walau susah dibuktikan. Amzulian Rifai, Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya menilai, mahar politik biasanya memakai dua modus. Modus pertama, atas nama dana survei. Dalam pilkada, survei menjadi senjata pamungkas sebelum mengusung kandidat. Tapi, terkadang atas nama survei juga digunakan untuk menjustifikasi kandidat tertentu.
Kedua, uang mahar dapat juga menjelma dalam bentuk atas nama kontribusi untuk partai. Oknum yang mengatasnamakan partai secara terang-terangan meminta kepada kandidat soal berapa kesanggupannya untuk berkontribusi apabila dicalonkan oleh partai.
Sejatinya, hukum melarang dan jelas mengancam praktik jual beli dukungan ini. Tiga ayat dalam Pasal 47 UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota melarang partai atau gabungan partai menerima imbalan dari bentuk apapun pada proses pencalonan. Jika terbukti menerima imbalan, maka dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama. Selain itu, partai atau gabungan partai penerima didenda sebesar 10 kali lipat dari nilai imbalan yang diterima.
Aroma mahar politik ini sudah mulai tercium. Dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta, bakal calon Gubernur Basuki Tjahaya Purnama menegaskan enggan membayar mahar kepada partai politik agar dapat kembali terpilih menjadi orang nomor satu di Jakarta. "Partai tidak minta mahar pun, saya tidak ada uang," ujarnya, Kamis (10/3), seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Menurut Ahok, mahar yang biasa ditetapkan partai politik biasanya berkisar antara Rp100 miliar hingga Rp200 miliar. Menurut Ahok, dari pada buat mahar, lebih baik sumbangan itu diberikan buat orang Jakarta. "Nyumbang bus atau apalah, saya nggak jadi gubernur pun, orang Jakarta dapat menikmati," tuturnya.
Tahun lalu, pasangan Asmadi dan Jisman batal maju sebagai calon Bupati dan Wakil Bupati dalam pilkada 2015 Toba Samosir, Sumatera Utara. Di Jakarta, seperti dilansir Sindonews.com Agustus tahun lalu, mereka mengaku terganjal pencalonannya karena tak sanggup memenuhi permintaan mahar oleh partai pengusungnya. Dua di antara partai pendukung meminta dana Rp1,6 miliar dan Rp2,5 miliar.
Ketua DPW Partai Nasdem, Maret tahun lalu, mengaku menolak pemberian mahar Rp1 miliar yang diberikan seseorang yang mengajukan diri sebagai calon gubernur dari partai itu.
Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin, dalam sidang kasus tersangka kasus dugaan suap impor daging sapi dan Pencucian Uang September 2013, mengaku menyetor Rp8 miliar kepada PKS lewat Ahmad Fathanah.
Duit itu untuk meraih dukungan dari PKS dan pemenangan pasangan Ilham Arief Sirajuddin-Azis Kahar Muzakar, dalam ajang Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sulawesi Selatan 2012. Hasilnya ia kalah. Awalnya Ilham diminta untuk menyetor Rp10 miliar. "Akhirnya saya negosiasi dan tercapai kesepakatan di angka Rp 8 miliar," ujar Ilham seperti dikutip dari Merdeka.com.
Ahok mengaku pernah mengelontorkan Rp2 miliar saat ia mencalonkan diri dalam Pilkada Belitung Timur. Uang tersebut digunakan untuk pembinaan partai."Istilah mereka, untuk uang kantor dan semacamnya," ujar Ahok, Kamis (19/9/2013) dinukil dari Merdeka.com.
Direktur Eksekutif Populi Center, Nico Hardjanto menilai, maraknya praktik mahar politik, disebabkan proses dan manajemen rekruitmen partai yang buruk dan tidak demokratis. Undang-Undang Pilkada dan Undang-Undang Parpol juga turut mencitptakan kondisi maraknya praktik mahar politik. "Karena setiap bakal calon dapat menjadi calon kepala daerah jika sudah memenuhi 20 persen kursi DPRD di daerah bersangkutan," kata Nico seperti dikutip dari Beritasatu.com. Kuota perolehan 20 persen kursi inilah yang dimanfaatkan oknum parpol untuk mendapatkan mahar politik. Sehingga setiap kursi mereka jual dengan harga tertentu.
Beritagar.id
Post A Comment
No comments :