INTERNASIONAL

[internasional][bleft]

NASIONAL

[nasional][bleft]

ACEH

[aceh][bleft]

TEKNOLOGI

[teknologi][threecolumns]

EKONOMI

[ekonomi][bleft]

SPORT

[sport][threecolumns]

Dua Rumah Sakit di Aceh Memasok Obat Palsu


Banda Aceh - Rumah sakit (RS) pemerintah di dua kabupaten, yakni Aceh Singkil dan Simeulue ditemukan memasok obat palsu berupa ribuan tablet obat batuk dan 342 ampul (botol kecil 2 mililiter) obat bius.

"Kami temukan dua kali dimana kali pertama penemuannya kami dapati 26 pot obat batuk tablet palsu dan kali keduanya kami temukan lebih banyak lagi. Begitu pula obat bius injeksinya kami temukan sebanyak 342 ampul," ungkap Kepala Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) Aceh, Dra Sjamsuliani Apt MM dikutip Serambi Indonesia, Selasa (28/10/2014).

Disebutkan, dari 26 pot tablet obat batuk itu diperkirakan satu pot berisikan 250 tablet. Ada ribuan tablet obat batuk palsu yang ditemukan saat itu.

Sjamsuliani menjelaskan, yang seharusnya obat batuk ini mengandung kodein tapi ternyata, setelah mereka uji, obat palsu yang dipasok mengandung gliseril guaiakolat (GG).

"Kasus pemasokan obat palsu ini kita temui tahun 2013 dan kasus ini masih kita tangani sampai sekarang. Dilakukan oleh rumah sakit pemerintah setempat, juga gudang farmasinya," kata Sjamsuliani.

Dia menegaskan, sebuah obat tidak boleh dipalsukan, karena jika ini terjadi, akan mengubah kegunaan dari obat tersebut. Ini sangat berbahaya bagi masyarakat karena yang pasti obat tersebut bisa menyebabkan efek samping.

Obat satunya lagi yang dipalsukan, kata Sjamsuliani, adalah obat bius injeksi phetidin HCl. Obat tersebut bukan lagi mengandung phetidin, tapi mengandung lidocaine, yang akhirnya juga mengubah fungsi dari obat bius umum menjadi obat bius lokal.

"Kasus ini sudah dalam proses penindakan hukum. Berdasarkan interogasi kami, pihak RS ini mengaku tidak tahu bahwa itu barang palsu. Padahal mereka (pihak RS) mengetahui prosedur membeli obat jenis narkotik yang sebenarnya," sebut Sjamsuliani.

Setiap pembelian obat jenis narkotika, katanya, mempunyai sistem, di antaranya, siapa yang membeli, pembelian harus di Pedagang Besar Farmasi (PBF) yang dianjurkan dan harus ada penanggung jawabnya.

"Sistem ini yang mereka coba langgar. Terlepas dari kurang atau tidak obatnya, seharusnya rumah sakit itu tidak boleh begitu. Rumah sakit tetap harus memberikan obat yang aman bagi masyarakat," tegasnya. 

Jika obat tidak memenuhi keamanan, masyarakat akan menanggung risiko yang sangat membahayakan.

Dikatakan Sjamusiliani, terungkapnya pemasokan obat palsu di dua rumah sakit itu melalui pemeriksaan rutin. Petugas BBPOM setiap hari melakukan pemeriksaan. Berdasarkan surat edaran BBPOM pusat, sudah ditentukan obat-obat tertentu yang dinyatakan palsu.

"Sehingga ketika kami melakukan pemeriksaan, kami mendapati ciri-ciri obat palsu itu dari pemeriksaan dua jenis obat tersebut. Hal itu semakin terbukti ketika kami melakukan uji laboratorium menunjukkan bahwa dua jenis obat itu benar-benar palsu," jelas Sjamsuliani.

"Berdasarkan Surat Edaran BBPOM Pusat, jika menemukan obat palsu harus di-recall. Tak hanya di-recall tapi juga harus ditarik peredarannya," ujarnya.

Sumber : Serambi Indonesia
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :