INTERNASIONAL

[internasional][bleft]

NASIONAL

[nasional][bleft]

ACEH

[aceh][bleft]

TEKNOLOGI

[teknologi][threecolumns]

EKONOMI

[ekonomi][bleft]

SPORT

[sport][threecolumns]

Aceh Setelah Hasan Tiro

Aceh Setelah Hasan Tiro

KantoMaya News - SAYA bukan pembaca yang baik tentang Hasan Tiro. Tidak seperti Nezar Patria yang menulis tesis magister tentang tokoh itu di LSE, Inggris . Atau tidak seperti Murizal Hamzah yang konon menghabiskan 14 tahun waktunya hanya untuk menulis sebuah biografi Hasan Tiro.

Terlebih juga, tidak seperti Haikal Afifa, yang berpeluh menterjemahkan dua buku Hasan Tiro dari bahasa Aceh dan Inggris ke bahasa Indonesia. Intinya saya tidak sama sekali cakap, bahkan hanya untuk mendekati mereka bertiga sekali-pun dalam membaca Hasan Tiro.

Akan tetapi pikiran ini pula patut tergerak untuk menulis salah seorang kader Abu Dawud Beureuh itu, setelah memperhatikan beberapa perkembangan akhir-akhir ini. Tentu dengan perspektif yang saya punyai.

Lalu bagaimana saya meletakkan Hasan Tiro di dalam bayangan tentang Aceh, terutama sejak awal abad ke-20 sampai sekarang ini?

Karena pertanyaan itu, saya kembali teringat perbincangan lama, sekitar tahun 2007, dengan Edward Aspinall di Balee Seumike Aceh Institute. Saat itu, Aspinall datang ke Aceh Institue untuk meneliti tentang peranan kelompok sipil dalam pembuatan kebijakan (Qanun) di Aceh.

Dalam perbincangan yang sangat informal itu, bahkan kini-pun kalau mengingat moment tersebut saya sering gagal move on dariBalee Seumike itu, kami membahas tentang buku yang sedang Aspinall tulis. Buku yang kemudian kita baca dengan judul Islam and Nation: Separatis Rebellion in Aceh, Indonesia.

Inti pembicaraan kami, antara political scientist yang memiliki reputasi internasional dengan anak kampong yang masih gagap melihat bule, adalah sama: bahwa Hasan Tiro mengkonstruksi identitas Aceh dari kacamata Barat.

Masalahnya kemudian menjadi lebih jelas, ketika olehnya Aceh dibaca dari perpustakaan di Kota New York. Itulah mengapa Hasan Tiro selalu saja mengulang-ulang laporan koran The New York Time tentang invasi Belanda, 26 Maret 1873.

Dari pengalaman itulah, Hasan Tiro mengkonstruksi Aceh dari sana dengan cara pandangan khas Barat: melihat Aceh sebagai nation. Jadi kata Aspinall saat itu, bahwa Hasan Tiro tidak melakukan gerakan revival, akan tetapi Hasan Tiro melakukan penafsiran tentang Aceh dengan kacamata renaissance.

Lalu di mana Hasan Tiro mendapatkan imajinasi sedemikian rupa? Di sini saya harus berbicara lebih jujur, bahwa persentuhan Hasan Tiro dengan pendidikan modern madrasah hasil konstruksi Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) adalah awal mula dia berkenalan dengan gagasan modern.

Mengikuti pertumbuhan madrasah, sebagaimana kata Ismail Yacub, adalah cara agar ulama tidak ketinggalan zaman (Isa Sulaiman, 1997: 45). Dan memang, pola pendidikan yang dikembangkan di madrasah adalah sebuah upaya dari generasi Aceh di awal abad ke 20 untuk merespon tatanan dunia baru. Maka dari itu cara belajar pun harus modern.

‘Kami dulu belajar pakai bangku dan kursi’ kata Abu Piyeung kepada saya dalam satu kesempatan perjumpaan dengannya di Montasiek Aceh Besar.

Dan memang benar, kala itu bangku, meja, kelas, jas dan dasi adalah menjadi titik perdebatan antara bandul yang modern dengan yang tradisional. Bahkan di satu masa yang sudah lalu, Hasby Ash Siddiqy, sebagaimana yang diceritakan oleh Hasbi Amiruddin, pernah menghebohkan perjalanan di dalam sebuah kereta api karena tanpa beban, dia memakai celana dan dasi. ‘Itu pakaian kepunyaan kaphe!’ gerutu orang kala itu.

Akan tetapi bagi Hasby Assidiqy, itu bukan pakaian asing yang terkutuk, melainkan sudah semestinya orang Aceh menjadi modern mulai dari pakaian hingga pikiran.

Di Madrasah pula, pikiran orang Aceh disusun secara moden. Di lembaga pendidikan itu, Islam tidak boleh sekadar ritual belaka, akan tetapi harus lebih dari itu.

Tgk. Hasyim, salah seorang siswa Jadam Montasiek, menceritakan kepada saya bahwa di sekolah itu mereka tidak hanya belajar Fiqh.

‘Di Jadam, pengajar kami lulusan Mesir dan juga dari Sumatera Barat. Di lembaga itu kami belajar tentang Siayasat (politik), dan itu pelajaran yang tidak ada di sekolah lain pada masa itu. Selain itu juga, kami belajar tentang ekonomi dan juga ilmu kesehatan’. kenang Tgk Hasyim.

Oleh karena semakin menjamurnya madrasah sehingga berakibat kekurangan guru, maka PUSA berinisiatif membentuk sebuah madrasah bernama Normal Islam Institute untuk mencetak para guru. Rencananya, alumni madrasah tersebut akan disebar ke seluruh pelosok Aceh.

Normal Islam Institute ini dapat dikatakan sebagai madrasah yang langsung dibina secara serius oleh PUSA. Bahkan riak sekecil apapun, diselesaikan secara elegan oleh para guru yang ada di sana. Salah satunya adalah perkelahian antara Abdullah Thaib dengan Hasan Tiro.

Patut kita menyimak testimoni Ramlie Gani berikut ini ‘Perkelahian antara Abdullah Thaib dan Hasan Tiro disebabkan perbedaan pendapat soal gotong royong. Tentu saja menjadi perkelahian yang tidak seimbang, Abdullah Thaib memiliki badan yang besar, tidak dengan Hasan Tiro’.

Ramlie Gani dapat dikatakan saksi hidup bagaimana praktik pendidikan di Normal Islam Institute itu berlangsung. Sebab dia merupakan anak tertua dari Ayah Gani, salah seorang guru di madrasah itu.

Akibat perkelahian itu, pihak guru-pun mengadakan rapat yang juga dihadiri langsung oleh Abu Dawud Beureuh. Hebat guru di Normal, tidak ada yang dihukum karena perkelahian itu. Dan mulai saat itu, Abdullah Thaib tinggal di rumah ayah saya, sedangkan Hasan Tirodi rumah Ust. Nur El Ibrahimy’ kata Ramlie Gani.

Dari Normal Islam Institute itulah, Hasan Tiro dan siswa-siswa yang lain belajar ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu Islam, bahasa Arab dan bahasa Eropa. Jadi dapat dikatakan bahwa sekolah PUSA itu-lah yang membentuk tradisi intelektual-nya Hasan Tiro.

Dan sebagaimana yang dapat kita baca bersama dalam setiap buku sejarah, bahwa atas rekomendasi Abu Dawud Beureuh pula,Hasan Tiro bersama teman-temannya yang lain, seperti Ilyas Ismail, Jacob Juli dan Abdullah Thaib merantau sampai ke tanah Jawa dan kemudian bertebaran di setiap jengkal tanah di atas bumi ini. Hasan Tiro ke Amerika, Ilyas Ismail ke Filipina, Abdullah Thaib ke Pakistan dan Jacob Juli ke Belanda.

Sampai di sini saya berhenti. Ya, berhenti sampai sebuah fase sejarah Aceh yang di dalamnya Hasan Tiro dibentuk. Sedangkan sejarah tentang dua pemberontakan Aceh, yang di dalamnyaHasan Tiro terlibat, tidak saya komentari lebih lanjut. Ada beberapa alasan, selain karena sudah banyak buku yang menuliskan hal tersebut secara lebih detil, Aceh pasca Mou Helsinki adalah Aceh yang akan dan sudah berbeda dengan apa yang saya narasikan di atas.

Aceh setelah 10 tahun perdamaian ini, sebenarnya telah melahirkan generasi baru di Aceh yang hendak menegoisasikan ulang identitasnya dengan cara pembacaannya yang lebih baharu, tentu tidak dalam pengertian meninggalkan sejarah di atas sama sekali.

Pembacaan ulang atas identitasnya sebenarnya hal ini adalah preseden dari setiap konflik yang Aceh hadapi: bahwa acap kali Aceh selesai dari konflik – dan juga perang – maka disitu pula identitas baru ikut dinegoisasikan. Hal itu terlihat mulai dari Perang Aceh, Revolusi Sosial, Darul Islam dan Gerakan Aceh Merdeka.

Dan yang menariknya kini, sekali lagi setelah 10 tahun pasca MoU Helsinki, yang tumbuh di Aceh adalah generasi baru yang tidak memiliki ingatan tentang konflik bersenjata di masa lalu atau dalam bahasa lain generasi yang hanya tahu narasi damai.

Bila fenomena ini terus bergerak ke depan, dan kemudian generasi Aceh pasca konflik ini malah menganggap bahwa berperang bukan lagi sebagai cara yang tepat sebagai untuk menuntut haknya. Maka dapatlah kita katakan bahwa wafatnya Hasan Tiro adalah akhir dari sebuah generasi yang pernah memberikan tafsir atas berjalannya logika kesejarahan Aceh, terutama sejak awal abad ke 20.

Dan apapun, iya apapun, yang telah mereka lakukan, atas perkara yang baik-baik, kita dapat belajar. Sedangkan hal yang belum terwujud, maka tugas generasi sekarang dan berikutnya untuk mengerjakannya. 

[Alkaf Mukhtar Ali Piyeung | www.bung-alkaf.com]
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :