INTERNASIONAL

[internasional][bleft]

NASIONAL

[nasional][bleft]

ACEH

[aceh][bleft]

TEKNOLOGI

[teknologi][threecolumns]

EKONOMI

[ekonomi][bleft]

SPORT

[sport][threecolumns]

Kolesterol, Minyak Goreng, dan Hutan Kita

Kolesterol, Minyak Goreng, dan Hutan Kita
Apapun makanan dan minuman yang kita makan dan minum, hasil akhir di dalam usus halus (sebelum diserap ke dalam darah) dapat kita golongkan menjadi :

1. Lemak, dengan segala jenisnya.
2. Karbohidrat atau "pati" atau "tepung".
3. Protein, dengan segala jenisnya.
4. Air.
5. Mineral, misalnya zat besi, kalsium,dan masih banyak mineral lain.
6. Vitamin.
7. Serat / fiber.

Makanan apapun yang digoreng, termasuk sekeping kerupuk, keripik, atau emping mengandung lemak/minyak, dalam hal ini minyak goreng. Semua jenis lemak yang masuk sampai ke dalam usus halus akan diserap ke dalam darah, menjadi bahan baku untuk pembuatan bermacam-macam fraksi lemak dalam tubuh kita, termasuk kolesterol. Proses pengolahan lemak menjadi kolesterol berlangsung di dalam hati (liver/hepar).

Segala jenis lemak yang kita konsumsi, apakah itu melalui daging berlemak, jeroan/organ dalam hewan, kuning telur, makanan laut (sea food), gulai/santan, sumsum tulang, mentega, es krim, cokelat, keju, ataupun minyak goreng akan diproses oleh tubuh kita menjadi :

1. Kolesterol total, yang terdiri dari: - kolesterol HDL (High Density Lipoprotein) atau 'kolesterol baik'. - 2. kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein) atau 'kolesterol jahat'. - kolesterol VLDL (Very Low Density Lipoprotein).
2. Trigliserida (Triglyceride) atau Lemak darah.
3. Lain-lain ( seperti Apo-B ).

Di antara bermacam-macam fraksi lemak ini, yang biasanya paling kita kenal dan sering kita periksa (di laboratorium) adalah Kolesterol total, Kolesterol HDL, Kolesterol LDL, dan Trigliserida.

Kolesterol: Salah Satu Penyebab Stroke

Berbicara tentang kolesterol, ada satu isu penting yang perlu kita ketahui. Sampai hari ini, banyak di antara kita yang cenderung menganggap, kelebihan kadar kolesterol dalam darah (hiperkolesterolemia) tidak mungkin diderita oleh orang kurus. Pandangan ini perlu kita koreksi.

Kadar kolesterol dalam darah kita sangat tergantung dari apa yang kita konsumsi sehari-hari dan ada tidaknya aktivitas fisik/olahraga.

Jadi, hiperkolesterolemia bukan monopoli orang gemuk. Banyak juga orang kurus yang berkolesterol tinggi. Semakin banyak lemak/minyak yang kita konsumsi, semakin banyak pula bahan baku untuk memproses lemak/minyak itu menjadi kolesterol.

Jadi, tidak perlu merasa heran jika di antara kita banyak yang berkolesterol tinggi walaupun kita menggunakan minyak goreng non-kolesterol.

Semakin sering kita makan makanan gorengan, semakin tinggi kolesterol kita. Kelebihan kadar kolesterol dalam darah (hiperkolesterolemia) merupakan salah satu penyebab utama stroke. Kira-kira sepertiga dari semua kasus stroke disebabkan oleh hiperkolesterolemia.

"...hiperkolesterolemia bukan monopoli orang gemuk. Banyak juga orang kurus yang berkolesterol tinggi"

Kolesterol tinggi membuat darah kita mengental, menimbulkan timbunan pada dinding pembuluh darah di seluruh tubuh - termasuk pembuluh darah dalam otak, menyebabkan sumbatan, berakibat stroke.

Darah yang mengental karena hiperkolesterolemia membuat jantung harus bekerja lebih keras untuk memompa darah, menghasilkan kenaikan tensi atau hipertensi.

Jadi dalam hal ini, kelebihan kadar kolesterol dalam darah-lah yang menyebabkan stroke, bukan hipertensinya.

Minyak Goreng dan Hutan Kita

Departemen Perdagangan RI memperkirakan, sepanjang tahun 2012, konsumsi minyak goreng dalam negeri mencapai 4,5 juta ton atau 4.500.000.000kg ! Itu berarti rata-rata orang Indonesia mengkonsumsi sekitar 3,5 sendok makan minyak goreng/orang/hari.

Tapi kita sering melupakan asal mula minyak goreng yang kita konsumsi setiap hari: sawit. Untuk produksi minyak goreng, sawit adalah bahan baku utama. Menanam pohon sawit otomatis berarti menebang/menggunduli hutan kita.

Negara kita telah kehilangan sangat luas/banyak hutan tropis akibat perkebunan sawit karena tuntutan kebutuhan akan minyak goreng.

Jika kita pernah terbang di atas propinsi-propinsi sentra perkebunan sawit di negara kita, lewat jendela pesawat terbang kita bisa saksikan betapa masifnya luas hutan yang hilang berganti sawit.

Jika kita tetap banyak mengonsumsi makanan yang digoreng, sadarkah kita bahwa itu berarti kita ikut menggunduli hutan kita? Kita perlu selalu mengingatkan diri kita sendiri, untuk setiap tetes minyak goreng yang kita konsumsi, ada pohon dalam hutan kita yang dikorbankan/ditebang.

Itu juga berarti ada banyak binatang yang kehilangan rumah mereka, mulai dari binatang terkecil sampai yang terbesar, mulai dari Semut sampai Gajah.

Banyak orang di negara kita yang beretiak-teriak meminta pemerintah menerapkan penghentian penggundulan hutan (moratorium deforestasi), tapi apakah orang-orang ini sudah total berpantang minyak goreng? Apakah mereka menerapkan diet tanpa minyak goreng selama 365 hari dalam setahun? Kita baru boleh menuntut moratorium deforestasi jika kita sendiri sudah sama sekali tidak mengkonsumsi minyak goreng.

"Kita perlu selalu mengingatkan diri kita sendiri, untuk setiap tetes minyak goreng yang kita konsumsi, ada pohon dalam hutan kita yang dikorbankan/ditebang"


Jadi, jika hutan yang sedemikian indah dan berharga di negeri kita ini sudah gundul, mari kita semua berintrospeksi diri, karena kita semua ikut terlibat.

Adakah di antara kita yang sudah (sanggup) hidup tanpa minyak goreng? Mungkin hanya anak-anak berumur di bawah 1 tahun saja yang belum mencicipi makanan gorengan. Jika kita semua mengurangi tingkat konsumsi minyak goreng secara nasional, diharapkan jumlah kasus stroke berkurang.

Umur harapan hidup rata-rata orang Indonesia bertambah, seperti bangsa Jepang yang mengutamakan makanan rebus.Penjual jajanan gorengan beralih menjadi penjual rebus-rebusan, pisang goreng menjadi pisang rebus, dan singkong goreng menjadi singkong rebus. Kelebihan produksi minyak goreng dalam negeri bisa diekspor.

Deforestasi melambat/berhenti dengan sendirinya. Masyarakat Indonesia yang tinggal di Propinsi Riau, Jambi, Bengkulu, dan Pulau Kalimantan, tidak perlu langganan setiap tahun menghirup asap beracun hasil pembakaran hutan.

Sumber : selasar.com
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :