INTERNASIONAL

[internasional][bleft]

NASIONAL

[nasional][bleft]

ACEH

[aceh][bleft]

TEKNOLOGI

[teknologi][threecolumns]

EKONOMI

[ekonomi][bleft]

SPORT

[sport][threecolumns]

Inflasi Sarjana di Aceh

Inflasi Sarjana di Aceh
KantoMaya News -- Setiap memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) --termasuk yang baru kita peringati pada 20 Mei 2016 lalu-- kita kembali mengevaluasi di mana posisi Bangsa ini dalam konstelasi antarbangsa. Lagi dan lagi kita mendapati banyaknya indikator Bangsa kita masih tertinggal di banding bangsa lain, termasuk di kawasan ASEAN. Kekayaan sumber daya alam (SDA) kita ternyata belum dapat membawa kesejahteraan untuk semua. Hasil kajian di banyak tempat memang menunjukkan bahwa SDA hanya syarat perlu tapi belum cukup untuk kebangkitan dan kemajuan sebuah bangsa. Kuantitas dan terutama sekali kualitas sumber daya manusia (SDM) adalah syarat cukup bahkan mutlak di era ilmu pengetahuan ini.

Di tingkat lebih mikro, Aceh adalah contoh bagaimana kekayaan alam belum bisa mensejahterakan rakyatnya. Selain mis-manajemen dan KKN oleh pengelola sumber daya di Aceh, kualitas SDM adalah penyebab sekaligus akibat dari beragam masalah kita. Anehnya, ini terjadi di tengah melimpahnya jumlah tenaga terdidik, khususnya sarjana di Aceh.

Setiap tahun ribuan sarjana dihasilkan oleh sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) di Aceh. Menjadi sarjana adalah sebuah kebanggaan. Banyak orang tua ingin anaknya menjadi sarjana. Calon mertua, konon juga lebih memilih calon menantu yang sarjana. Menjadi sarjana, kata seorang Rektor PTS di Aceh suatu ketika, juga bisa meningkatkan rasa percaya diri generasi muda kita. Kalau tak bisa menjadi sarjana dari PTN, biarkanlah mereka jadi sarjana dari PTS. Karena itu, logikanya, mari kita terus produksi sarjana.

Mungkin karena logika itu, makin banyak PTN dan PTS yang hadir di Aceh. Bagi yang sudah PTS kemudian ingin jadi PTN. Alasannya agar mendapat “dana dari pemerintah”. Bahkan yang PTS pun seringkali tak sepenuhnya swasta, alias tetap mengharapkan bantuan pemerintah. Dana pemerintah pusat lewat Kopertis dan dana pemerintah daerah lewat bantuan hibah atau bantuan lainnya.

Ada sejumlah kekeliruan cara pikir dalam pandangan seperti di atas. Pertama, produksi sarjana berlebihan mungkin baik untuk jangka pendek, tapi perlu dipikirkan dampak jangka panjangnya untuk Aceh. Apalagi kalau peningkatan kuantitas tidak diikuti oleh membaiknya kualitas. Juga, berapa sebenarnya kebutuhan sarjana di Aceh?

Kedua, dalam sistem demokrasi modern, tak ada yang namanya “dana dari pemerintah”. Pemerintah tak punya dana. Pemerintah tak punya apa-apa. Pemerintah adalah pihak yang diberi amanah oleh rakyat untuk mengelola dana dan segala sumber daya yang ada di suatu wilayah, Aceh misalnya. Pemilik “dana pemerintah” sejatinya adalah rakyat. Artinya, setiap dana yang dikeluarkan pemerintah sebenarnya ikut membebani rakyat.

Beban rakyat

Data di Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) menunjukkan, jumlah PTN/PTS di Aceh adalah yang terbanyak kedua setelah Sumatera Utara di Pulau Sumatra. Angka ini juga salah satu yang tertinggi di Indonesia. Bahkan untuk jumlah PTN, Aceh menduduki peringkat pertama di Sumatera. Tentu saja ini sebuah kebanggaan untuk kita.

Bagaimana tidak, dengan penduduk sekitar 5 juta jiwa, Aceh saat ini memiliki 8 PTN yang dapat menghasilkan sarjana. Sebagian PTS lain sedang berusaha agar “dinegerikan” juga. Sebagian sudah juga melahirkan banyak magister dan sejumlah doktor. Bandingkan dengan Singapura, sebuah negara yang penduduknya 6 juta jiwa, yang memiliki hanya 3 PTN sementara selebihnya adalah politeknik dan sekolah vokasi lainnya. Provinsi tetangga kita, Sumatera Utara yang berpenduduk lebih dari 13 juta jiwa, memiliki PTN yang jauh lebih sedikit dari Aceh.

Kalau dilihat lebih dalam, Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi di Aceh memang selalu berada di puncak untuk Pulau Sumatera bersama Sumatera Barat. APK pendidikan tinggi Aceh adalah 0,38 sementara Sumatera Barat 0,42. Artinya, setiap 100 penduduk berusia 19-23 tahun di Aceh, 38 di antaranya tercatat sebagai mahasiswa. Angka ini jauh lebih tinggi dari provinsi lain di Sumatera termasuk Sumatera Utara. Bahkan angka APK pendidikan tinggi Aceh dan Sumbar ini jauh di atas rata-rata Nasional yang masih berada pada kisaran 0,20-0,25. Artinya, masyarakat Aceh dan Padang adalah masyarakat yang punya tradisi belajar hingga jenjang pendidikan tertinggi.

Tentu saja tak ada yang salah dengan fakta ini. Bahkan kita, sekali lagi, layak bangga. Tapi jangan lupa, setiap kita yang menempuh pendidikan, terutama di pendidikan negeri, dari SDN hingga PTN pasti selalu menggunakan “uang dan sumber daya rakyat”. Walaupun kita membayar SPP yang cukup tinggi di PTN paling ternama sekalipun, biaya SPP itu tetap saja tidak cukup untuk mencetak sarjana. Artinya, rakyat menanggung beban dalam menghasilkan setiap sarjana di negeri ini.

Lebih gawatnya lagi, masa studi mahasiswa di Aceh rata-rata lebih lama dari mahasiswa di provinsi lain di Sumatera. Artinya, makin banyak “uang rakyat” terpakai untuk melahirkan setiap sarjana. Apalagi untuk menghasilkan magister dan doktor yang memerlukan biaya jauh lebih besar. Sudah menjadi pengetahuan umum, walaupun pendidikan pascasarjana dibandrol lebih mahal oleh PTN/PTS, sebagian besar program pascasarjana harus disubsidi karena jumlah mahasiswanya sangat sedikit pada sebagian besar program. Ini juga “beban rakyat” yang harus memberi subsidi di sana-sini.

Miskin kualitas

Mengapa masa studi mahasiswa di Aceh rata-rata lebih lama dari mahasiswa di PTN/PTS provinsi lain di Sumatera dan juga di tingkat nasional? Ada banyak faktor yang mempengaruhi masa studi seorang calon sarjana. Tapi bagi calon sarjana di Aceh bisa jadi berlama-lama menjadi mahasiswa adalah pilihan buruk dari pilihan yang lebih buruk: menjadi pengangguran setelah masa mahasiswa.

Bagi yang banyak bainah, harta keluarga termasuk harta warisan, “membelanjakannya untuk keperluan pendidikan” bukanlah sebuah keputusan sulit. Bagi sebagian bahkan dianggap bagian dari perjuangan suci keluarga dan kaumnya demi melahirkan sarjana pertama dalam keluarga. Berbahagialah orang tua yang anak-anaknya tekun di bangku kuliah, memang belajar sesuatu dari kampusnya, dan terus berusaha untuk segera lulus dan siap masuk dunia kerja.

Banyak juga mahasiswa yang beruntung mendapatkan beasiswa penuh pada sebagian atau bahkan sepanjang masa kuliahnya. Dengan prospek kerja yang suram setelah masa studi di kampus, ada insentif besar untuk memelihara “status mahasiswa”. Ada mahasiswa yang berseloroh, “Mendingan jadi mahasiswa “abadi” karena paling tidak pada kolom pekerjaan di KTP tercantum 'Pekerjaan: Mahasiswa’.” Tambahan lagi, status sosial mahasiswa yang cukup baik dalam masyarakat Aceh, terutama di wilayah rural.

Tapi tak sedikit mahasiswa yang datang dari kampung di pelosok Aceh untuk kuliah yang kemudian mendarat di kampus-kampus yang “belajarnya tak ada, tapi ijazah ada”. Lebih celaka lagi jika si anak sendiri datang ke Banda Aceh sebagai bagian dari pelarian dari hidup di kampung dan mendapat kampus yang juga bagian dari bentuk pelarian bisnis dalam dunia pendidikan “orang-orang kota”. Yang terakhir ini adalah bagian dari ancaman moral (moral hazard) dunia pendidikan yang mendewakan gelar dan memburu ijazah. Kualitas dan keahlian tak lagi menjadi pembeda mereka yang sarjana dengan yang bukan. (Bersambung)

* Saiful Mahdi, Ph.D., Fulbright Scholar dan Ketua Prodi Statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Darussalam, Banda Aceh. Email: saiful.mahdi@unsyiah.ac.id

Serambiindonesia
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :