INTERNASIONAL

[internasional][bleft]

NASIONAL

[nasional][bleft]

ACEH

[aceh][bleft]

TEKNOLOGI

[teknologi][threecolumns]

EKONOMI

[ekonomi][bleft]

SPORT

[sport][threecolumns]

Ini Alasan, Kenapa Inggris Raya harus menggelar referendum?

Ini Alasan, Kenapa Inggris Raya harus menggelar referendum?
Rakyat Inggris Raya (UK) pada Kamis (23/6) berbondong-bondong ke bilik suara untuk menentukan arah perjalanan mereka sebagai komunitas bersama di masa mendatang. Para penyumbang suara dihadapkan dengan pertanyaan ini:

"Haruskah Inggris Raya bertahan atau berpisah dari Uni Eropa?" Pemilih diberikan dua opsi: "Tetap menjadi bagian Uni Eropa" atau "Meninggalkan Uni Eropa.''
Informasi yang beredar lewat pelbagai medium- baik lewat media massa atau media sosial- menunjukkan bahwa opsi kedua diambil oleh lebih banyak pemilih. Persentasenya 51,9 persen berbanding 48,1 persen. Sementara itu, tingkat partisipasi pemilih mencapai 72,2 persen dari 46.500.001 elektorat.

Dari bagian tersebut, masyarakat Inggris menyumbang suara paling dominan ihwal perpisahan dengan perbandingan 53,4 persen melawan 46,6 persen. Wales mengikutinya dengan rasio 52,5 persen berbanding 47,5 persen. Sementara, Skotlandia dan Irlandia Utara lebih memilih tetap terikat dengan Uni Eropa dengan perbandingann 38 persen melawan 62 persen. Di Irlandia Utara, 44 persen memilih berpisah, dan 55,8 persen setuju Inggris Raya tetap di Uni Eropa.

Pemungutan suara ini secara hukum tidak mengikat. Artinya, jika para pejabat Inggris tidak menerapkan Pasal 50 Pakta Uni Eropa, proses negosiasi untuk pecah dari Uni Eropa--yang lamanya dua tahun--takkan bergulir.

Salah satu pihak yang menentang perpisahan adalah Perdana Menteri David Cameron. Ia pun sontak mengeluarkan pernyataan mengejutkan yang menjadi penanda berakhirnya masa jabatan sebagai perdana menteri enam tahun belakangan. Ia juga menegaskan keyakinannya bahwa "Inggris (Raya) lebih bergigi, aman, dan sejahtera di Uni Eropa.''

Namun, Cameron berjanji masih akan tetap menduduki kursi PM hingga Oktober mendatang demi menjaga "kapal tidak goyang" dan pemimpin baru siap berkiprah.

Tak satu pun pihak bisa sepenuhnya yakin mengenai dampak referendum ini ke banyak negara, termasuk bagi Indonesia. Namun, ekonom Bank Mandiri mengatakan--seperti dilansir Katadata --bahwa dampak gejolak keuangan akibat Brexit hanya bersifat tidak langsung dan berjalan sementara terhadap Indonesia menimbang kecilnya nilai transaksi dagang Indonesia - Inggris.

Bahkan, dilansir laman Bisnis, Menteri Koordinator bidang Perekonomian, mengatakan bahwa "ada atau tidak ada Inggris, (ekonomi) tetap akan jalan.''

Efek terburuk kemungkinan bakal melantak Inggris Raya dan Uni Eropa. Tahun lalu, 44 persen barang ekspor dari Inggris Raya mengalir ke Uni Eropa. Nilai volume itu mewakili 12 persen Produk Domestik Bruto mereka. Kesepakatan dagang, imigrasi, aturan perburuhan, regulasi perjalanan dan transaksi keuangan antara Inggris Raya dan Uni Eropa pun mesti dibicarakan kembali.

Lantas, mengapa Inggris Raya menggelar referendum untuk meninggalkan Uni Eropa?

Alasan pokoknya tak bersangkut paut dengan perekonomian, tapi, rasa jijik terhadap warga asing.

Sebelum Uni Eropa terbentuk pada 1993, imigrasi bukan masalah serius bagi Inggris Raya. Angka migrasi bersih di sana kurang dari 100 ribu orang per tahun. Namun, keberadaan Uni Eropa mengubah tren. Jumlah orang asing yang ada di Inggris pada 1993-2014 naik lebih dari dua kali lipat dari tiga juta jiwa hingga menjadi 8,3 juta jiwa.

Antara 2004 hingga 2014, persentase kaum migran yang masuk ke Eropa lewat Inggris Raya melonjak, lebih tinggi dari 25 persen dan lebih rendah dari 50 persen.

Pada 2008, krisis keuangan dan krisis zona euro mendesak negara cukup kaya seperti Spanyol, Italia, dan Portugal. Seiring dengan kenaikan angka pengangguran di negara-negara tersebut, warganya pun mulai mencari peluang kerja di negara Uni Eropa lain. Pasar tenaga kerja di Inggris Raya termasuk satu yang mudah dimasuki. Bahasa Inggris pun mudah diakses. Ujungnya, banyak orang Eropa tak sungkan untuk mencari penghidupan di Inggris Raya.

Retorika mengenai isu imigrasi pun dikembangkan, dan mendominasi pihak penyokong perpecahan. Wacana yang dilemparkan ke khalayak luas itu "berhasil membangun narasi yang menyalahkan menurunnya standar hidup.'' PM Cameron pun menyerukan referendum digelar untuk menentukan apakah masyarakat Inggris Raya masih akan bersatu atau bercerai dari Uni Eropa.

Pun, meski pemungutan suara telah berakhir, efek domino dari keputusan untuk berpisah dari Uni Eropa ini kemungkinan akan menjalari negara lain. Potensi ini dilontarkan oleh direktur investasi Commonwealth Financial Network, Brad McMillan kepada Forbes. Dalam hematnya, "hengkangnya Inggris untuk kali pertama memiliki prospek untuk mencerai-beraikan Uni Eropa. Satu pendorong utama Yunani tetap jadi bagian Uni Eropa pada 2011 adalah untuk menghindari preseden (demikian). Suka atau tidak, preseden itu telah tercipta."
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :