INTERNASIONAL

[internasional][bleft]

NASIONAL

[nasional][bleft]

ACEH

[aceh][bleft]

TEKNOLOGI

[teknologi][threecolumns]

EKONOMI

[ekonomi][bleft]

SPORT

[sport][threecolumns]

Budi Waseso: Yang mau melegalkan ganja itu pengkhianat bangsa

Budi Waseso: Yang mau melegalkan ganja itu pengkhianat bangsa
KantoMaya News -- Tak hanya soal narkoba, Budi Waseso juga bicara mengenai bedanya bekerja di Bareskrim dan BNN.

Selama menjabat sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) pada September 2015, Budi Waseso tidak pernah menempati meja kerja pribadinya. Plat nama dari ukiran kayu yang ada di muka meja itu masih tertutup plastik.

Tak banyak barang di atas meja kayu itu sehingga terlihat bersih dan rapih. Di seberangnya, terdapat akuarium dan ikan arwana berwarna emas kemerahan.

"Saya lebih suka bekerja di sini," katanya sambil menunjuk meja yang berada di ruang rapat. Letak ruangan ini berbatasan langsung dengan ruang kerjanya. Meja tersebut panjang dan cukup diisi sekitar delapan kursi. Bertumpuk-tumpuk dokumen berada di atasnya, beserta deretan gelas air minum kemasan dan makanan ringan.

Buwas, begitu ia biasa disapa, bukan tanpa alasan memilih lokasi ini sebagai tempatnya bekerja. Ia lebih nyaman bekerja bersama anak buah dan melihat lingkungan sekitarnya. Selain itu, ia mengaku tak sampai hati berada di ruang kerja pribadi yang mewah, mengingat ruang kerja anak buahnya mayoritas tidak layak.

"Cuma ruang kerja Kepala BNN saja yang bagus di gedung ini," ujar Buwas ketika menerima wawancara Beritagar.id di Kantor BNN, Jalan MT Haryono, Cawang, Jakarta Timur, pada (06/04/2017). "Pegawai lain mau nulis saja harus rebutan meja dan kursi."

Pria kelahiran Pati, 19 Februari 1961, ini masih dengan sikapnya yang blak-blakan dan berbicara apa adanya. Dia pernah menjadi sorotan publik ketika menjabat Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Polri).

Selama delapan bulan menempati posisi itu, ia menetapkan tersangka untuk pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, beserta penyidiknya Novel Baswedan untuk kasus yang berbeda-beda. Aksinya ini memperkeruh hubungan polisi dan KPK.

Buwas pun terpaksa pindah memimpin kantornya sekarang. Tapi itu tak menyurutkan langkahnya. Menurut dia, nilai pertanggungjawaban kemanusiaan di BNN lebih hebat ketimbang di Bareskrim. "Saya menyelamatkan jiwa raga yang tidak bisa dinilai dengan apa pun," katanya.

Kepada Fajar WH, Sorta Tobing, dan fotografer Wisnu Agung Prasetyo, ia menceritakan seberapa parah peredaran narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) saat ini di Indonesia. Separuh lebih rakyat Indonesia sekarang pernah paling tidak mencicipi zat adiktif dan mematikan tersebut.

Buwas juga sempat mengomentari kasus penanam 39 batang ganja, Fidelis Arie Sudewarto, yang baru-baru ini ditangkap BNN. Fidelis beralasan menanam ganja itu untuk mengobat istrinya yang menderita penyakit langka Syringomyelia. Tapi Buwas menilai sebaliknya. Berikut hasil wawancara kami:

Seberapa serius peredaran narkoba di Indonesia saat ini?Presiden (Joko Widodo) sudah bilang kita darurat narkoba sehingga perlu tindak tegas. Faktanya memang demikian. Hasil penelitian terakhir dari Universitas Indonesia menunjukkan lima juta orang saat ini menjadi penyalahguna narkoba. Secara teori, angka itu bisa dikali 10, jadi sebenarnya ada 50 juta orang yang terkena efek negatif narkoba.

Itu tidak terbantahkan karena setiap hari orang yang meninggal karena narkoba sekitar 50-57 orang. Bahkan ada satu penelitian yang sedang saya dalami, mengatakan pangsa pasar narkotika di Indonesia mencapai 132 juta orang.

Lebih dari setengah penduduk kita dong.Iya, ini berdasarkan sampel dan terbukti 132 juta orang pernah mengonsumsi narkoba.

Tapi tidak semuanya masuk kategori kecanduan?Tidak. Yang jelas addict di atas lima juta orang.

Usia konsumen terbesar?Antara 20 sampai 53 tahun. Usia produktif.

Makin berat tantangan BNN?Pasti. Di dunia sekarang ada 800 jenis baru narkoba. Yang masuk ke Indonesia baru 60 jenis. Itu yang ketahuan. Yang tidak ketahuan bisa lebih dari itu. Dan baru 43 jenis yang bisa kami proses hukum karena laboratorium kami terbatas.

BNN punya laboratorium sendiri?Ada tapi kemampuannya terbatas. Makanya saya usul untuk menghadapi ancaman narkotika ke depan, Indonesia harus punya laboratorium bertaraf internasional. Tujuannya, supaya perkembangan 800 jenis narkoba itu bisa terdeteksi dini.

Kalau presiden sudah bilang darurat narkoba, harusnya didukung dong program itu?Memang. Tapi kondisi keuangan negara terbatas.

Apakah karena narkoba bukan prioritas?Seharusnya menjadi prioritas. Menurut saya, penanganan narkotika sangat berpengaruh kepada pembangunan negara ini. Bagaimana kita bisa membangun negara kalau generasinya rusak? Tidak mungkin. Saat ini dari mulai bayi sampai orang paling tua terkontaminasi narkotika.

Bayi?Ada dua bayi di Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Barat.

Kok bisa?Jadi bayi itu masih menyusui. Dia bukan kena narkoba dari ASI (air susu ibu), menurut penelitian kami. Tapi karena orang tuanya pengguna narkoba jenis sabu. Mereka pakai bong dan ganti-gantian. Bayi ini di samping mereka. Asapnya itu terhisaplah oleh si bayi.

Anak taman kanak-kanak (TK) pun sudah jari korban regenerasi jaringan narkoba. Mereka menaruh narkoba di makanan, minuman, bahkan sampai sticker.

Bagaimana bisa sticker jadi narkoba?Narkoba jenis apa kami tidak tahu. Tapi ketika anak menempelkan sticker itu di tangannya, narkobanya masuk melalui pori-pori sehingga dia jadi fly dan ketagihan. Ini jadi pasar berikutnya. Nanti SMP dia ketagihan, SMA sudah masuk pangsa pasar itu.

Sadis juga ya.Justru itu. Ada LSM (lembaga swadaya masyarakat) bilang ini untuk kesehatan, kemanusiaan. Saya bilang, Anda lihat dari sisi mana. Saya ini menangani narkotika dari zaman jadi Kapolsek sampai Kabareskrim.

Kasus Fidelis, BNN tidak melihat ada unsur kesehatan dan kemanusiaan?Penanganan narkoba tidak boleh berpikir untuk kepentingan. Alasan kesehatanlah, pengobatanlah, dan kemanusiaan tidak bisa diterima.

Tapi dia mengaku mengekstrak ganja untuk pengobatan istrinya.Itu kan katanya. Faktanya enggak ada kok. Kakaknya bilang ketika diobati itu dia bisa makan, tidur, bicara. Tapi bisa saja hanya halusinasi karena efek ganja. Kita jangan mudah membuat keputusan tanpa ada bukti dari penelitian medis.

Hukumannya apa untuk menanam ganja seperti Fidelis?Undang-Undang Narkotika (Nomor 35 Tahun 2009) pasal 111 ayat 2. Memiliki lima batang (ganja) saja sudah hukuman seumur hidup. Apalagi ini 39 batang ganja.

Data BNN 2016, belanja narkotika di Indonesia mencapai Rp72 triliun.Kami mengungkap kasus Tindak Pidana Pencucian Uang dari satu jaringan. Dalam setahun dia menghasilkan Rp3,6 triliun. Ada juga jaringan lain yang belanjanya mencapai Rp1,3 triliun. Jadi ambil rata-rata saja Rp1 triliun per jaringan dari 72 jaringan jadi total Rp72 triliun per tahun.

Semua jaringan ini beroperasi besar dan, herannya, laku. Barang-barang yang mereka pasarkan habis terjual, bahkan kurang. Padahal jumlahnya berton-ton.

Lebih besar dari konsumsi daging sapi nasional jangan-jangan.Iya, jumlahnya memang luar biasa. Kami bicara fakta di lapangan. Tapi masih ada yang enteng bicara untuk melegalkan ganja. Orang-orang yang berpikiran seperti itu adalah pengkhianat bangsa. Dia mau mempercepat bangsanya mati dan negaranya hancur.

Penangkapan bandar narkoba sudah sering dilakukan, bahkan ada yang sampai dihukum mati, tapi peredarannya masih meluas. Apa penyebabnya?Kalau saya, selama kita konsisten pasti jera. Kita kan tidak konsisten. Hukuman mati baru dilaksanakan kalau ada pressure. Kalau tidak, ya enggak. Kayak sekarang sisanya tidak diapa-apain.

Belum lagi diberitakan kalau hukuman mati melanggar kemanusiaan. Ini jadi dibalik-balik. Dia (bandar narkoba) melakukan kejahatan luar biasa, pelaku pembunuhan massal dan biadab karena tidak pakai perasaan. Dia sebenarnya pelanggar HAM (hak asasi manusia), jadi harusnya diabaikan saja hak manusianya.

Provinsi dengan konsumen terbesar di mana?Hampir merata ya saya kira karena narkoba tidak mengenal kalangan lagi. Bahkan dulu prediksi kami grassroot tidak mampu membeli, sekarang justru berkembang di kalangan itu.

Dengan jenis berbeda?Jenis yang sama. Harga sabu sekarang Rp2 juta per gram. Yang memakai itu penghasilannya sehari cuma Rp10ribu sampai Rp20 ribu. Bagaimana caranya dia bisa pakai itu? Ternyata dia memang diciptakan oleh jaringan narkoba. Ia dikasih gratis, dibuat addict. Setelah ketagihan, dia jadi alat, paling tidak menjadi pengedar.

Selain menjadi pengedar, dia juga menjadi kekuatan dari jaringan ini untuk melawan aparatur negara. Maka tidak bisa kami bilang narkoba itu konsumsi masyarakat kelas menengah atas. Dulu mungkin betul, sekarang tidak. Grassroot juga pakai.

Konsumsi narkoba paling banyak jenisnya apa?Sabu dan ekstasi.

Dari mana asalnya?Sebagian besar Cina.

Kenapa tidak mendorong, misalnya, pemerintah Tiongkok untuk melakukan itu?Sudah, tapi negara itu punya aturan sendiri. Kami sudah bertemu dengan semua elemen yang berkaitan dengan narkotika di Tiongkok. Mereka bilang penduduknya besar dan pemerintah di sana mendorong masyarakatnya produktif. Berbuat apapun boleh yang penting tidak berbuat kejahat. Bikin bahan bom dan senjata boleh.

Membuat narkoba bukan kejahatan?Mereka membuat itu untuk obat, tujuan penelitian. Yang salah, menurut mereka, yang menyalahgunakan.

Di Indonesia pun ada wilayah yang menjadi tempat penanaman bahan baku narkoba, misalnya Aceh.
Memang Aceh sekarang menjadi tempat produksi ganja terbesar di Indonesia. Bahkan kualitasnya diakui nomor satu di dunia. Karena itu, pekan lalu saya meluncurkan program alternative development, mengubah tanaman ganja di Aceh menjadi yang produktif. Nanti Menteri Pertanian yang akan menentukan, misalnya cengkeh dan kopi.

Berapa produksi ganja di sana?Luar biasa. Sekali nangkep kami bisa dapat dua ton.

Masalah ganja di Aceh sudah menahun tapi tampaknya tidak selesai-selesai. Yang berperan di sana kartel atau masyarakat awam?Dulu menanam ganja menjadi budaya di sana karena untuk bumbu masakan. Lalu, ketika terjadi Gerakan Aceh Merdeka, mereka menjual ganja untuk mendanai pergolakan itu. Tapi kebiasaan memasarkan ganja masih menjadi budaya karena menghasilkan uang. Di sana juga ada jaringannya. Masyarakat tinggal nanem, hasilnya ditampung.

Siapa dibalik itu sudah terendus?Beberapa sudah tapi jaringannya putus-putus.

Ada indikasi aparat terlibat?Pasti ada. Enggak usah soal narkotika, oknum selalu ada di mana saja. Jaringan narkoba selalu melibatkan oknum untuk mempermudah dan memperlancar bisnis mereka.

Apakah semua jaringan narkotika di Indonesia bisa terputus suatu hari nanti?Enggak bisa kecuali komitmen menyeluruh dalam skala global.

Bagaimana dengan peredaran narkoba di lembaga pemasyarakatan (lapas)?Sulit. Salah satu sipir di lapas gajinya Rp3,8 juta sebulan. Dia dibayar oleh jaringan itu Rp50 juta sebulan dan diberi mobil dan rumah. Kira-kira dia tunduk ke mana, jaringan atau negara? Oknum ini memakai keterbatasan lapas. Karena itu, harus diperbaiki sistem dan komitmennya.

Pernah digoda oleh para bandar narkoba?Banyak. Biasa sajalah. Setiap manusia hidup pasti ada godaannya. Tapi kembali ke diri saya, komit enggak, konsisten enggak.

Lebih senang di Bareskrim atau....Semuanya senang.

Lebih susah di Bareskrim atau BNN?Sama-sama susah ya. Tapi nilai pertanggungjawabannya secara kemanusiaan lebih hebat di sini karena saya menyelamatkan jiwa raga. Waktu di Bareskrim kan harta benda titik beratnya.

Anda dulu sampai dicaci-maki publik.

Enggak apa-apa. Itu pendapat orang. Tapi Tuhan tahulah saya bekerja dengan ketulusan.

Tekanan politik lebih berat di mana?Saya dari dulu tidak pernah merasa ada tekanan politik dan tidak pernah terpengaruh juga. Saya tidak peduli, yang penting bekerja menurut undang-undang dan aturan. Waktu dipindah ke sini, saya tidak terus tunduk apalagi frustasi. Walaupun saya dicaci-maki dan di-bully setiap hari. Yang kasihan anak dan istri saya.

Mereka pernah mengeluh?Pernahlah. Anak saya mengeluh jadi ikut-ikut terbawa kasus yang menimpa saya. Tapi saya kasih pemahaman ke dia. Istilahnya, badai pasti berlalu.

Kayaknya Anda lebih buas di Bareskrim?
Enggak juga ya. Waktu itu karena saya banyak dilihat dari kacamata politik, dipolitisasi, jadi viral. Apalagi saya berhadapan dengan KPK. Padahal ini ulah oknumnya tapi seolah-olah ada kepentingan antar lembaga dan institusi yang saling dibenturkan.

Yang kami hadapi adalah orang-orang biadab. Kalau menghadapi orang gila, kami harus ikut gila biar nyambung.

Budi Waseso

Pernah ada yang nyuruh Anda jangan keras-keras kalau ngomong?Enggak. Karakter saya memang begini. Saya bukan pemain sinetron. Kejujuran itu penting buat saya.

Anda sudah mau pensiun ya?Tahun depan selesai pengabdian saya.

Mau ngapain?Biasa saja.

Ke partai?Enggak. Saya bukan orang partai dan tidak perah dididik jadi politikus.

Tapi kemarin nama Anda sempat mencuat sebagai calon gubernur DKI Jakarta?Saya tidak mau. Itu kan keinginan kelompok masyarakat. Bagi saya, tidak mudah jadi pemimpin. Dia harus jadi panutan, teladan, ayah, dan komandan. Berat tugasnya. Makanya saya heran kalau ada yang pengen, apalagi sampai dua kali. Ha-ha-ha....

Masih hobi menembak?Kalau ada waktu, masih. Itu untuk melatih reaksi diri saya. Siapa tahu harus menghadapi tantangan yang berhadapan dengan senjata, saya masih punya kemampuan.

BNN baru membeli senjata baru?Iya, karena sangat urgent. Kami harus semakin tegas karena tiga kasus terakhir yang terungkap, mereka sudah bersenjata otomatis. Ada yang memakai AK47, M16, pistol, revolver, dan semuanya pabrikan, bukan rakitan. Berarti mereka sudah memperkuat diri.

Pernah ikut operasi turun langsung ke lapangan?Sering. Saya kadang mimpin sendiri. Jangan dikira hanya kasih perintah saja.

Sampai menembak?Kalau harus menembak orang, biasa saja. Jangan anggap dia manusia, tapi binatang karena perilakunya. Tidak usah takut dosa. Tuhan tahu kok. Hati nurani kita sudah disuruh Tuhan untuk bunuh dia. Ya sudah jedos!

Yang kami hadapi adalah orang-orang biadab. Kalau menghadapi orang gila, kami harus ikut gila biar nyambung.

Beritagar.id
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :