INTERNASIONAL

[internasional][bleft]

NASIONAL

[nasional][bleft]

ACEH

[aceh][bleft]

TEKNOLOGI

[teknologi][threecolumns]

EKONOMI

[ekonomi][bleft]

SPORT

[sport][threecolumns]

RUU Pemilu Bonsai UUPA

KantoMaya News, BANDA ACEH - Pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) pemilu ternyata tidak hanya diprotes oleh empat fraksi partai di Senayan, Jakarta. Peraturan yang disahkan DPR RI, Jumat (21/7) dini hari, juga menuai protes dari Aceh.

Adalah Badan Legislagi (Banleg) DPR Aceh yang melayangkan protes dan tidak setuju. Karena UU Pemilu tersebut telah membonsai dan mencabut dua pasal UUPA, yakni pasal 57 dan 60, yang berkaitan dengan Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Aceh dan kabupaten/kota.

“Kita sangat menyayangkan, dengan lahirnya UU Pemilu ini, UUPA terus dibonsai, kewenangan Aceh terus diganggu. Ini tidak bisa kita tolerir lagi,” kata Sekretaris Banleg DPR Aceh, Azhari Cagee, Sabtu (22/7).

Menurut draf RUU Pemilu yang diperoleh Serambi, pada Pasal 571 disebutkan, Pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), ayat (2), serta ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Hasil kajian Serambi, pasal 57 dan 60 memang mengatur tentang KIP dan Panwaslih Aceh serta kabupaten/kota, yang meliputi jumlah anggota dan masa kerja kedua lembaga itu.

“Kalau kita lihat Pasal 557 RUU Pemilu ini, menurut amatan kami, berarti kewenangan Aceh yang ada dalam UUPA tentang KIP dan Panwaslih diambil alih oleh pemerintah pusat. Lagi-lagi, kekhususan Aceh dicabut dengan kebijakan pemerintah pusat,” katanya.

Begitu juga dalam pasal 557 ayat (1), di mana disebutkan, kelembagaan KIP hirarki dengan KPU, dan Panwaslih hirarki dengan Bawaslu. Lalu pada ayat (2) disebutkan, kelembagaan KIP dan Panwaslih wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya berdasarkan undang-undang ini (UU Pemilu). “Ini pengkerdilan terhadap kekhususan yang kita miliki,” katanya.

Politisi Partai Aceh ini mengaku berang dengan sikap Pemerintah Pusat yang lagi-lagi tidak berkonsultasi apapun dengan DPRA dalam menetapkan regulasi baru yang ada kaitannya dengan Aceh. “Mereka tidak memperhatikan kekhususan Aceh, padahal dalam Pasal 269 UUPA telah disebutkan, setiap kebijakan Pemerintah Pusat, baik yang menyangkut undang-undang atau lainnya, wajib dikonsultasi dan mendapat pertimbangan DPRA. Ini yang tidak pernah dilakukan oleh pusat,” ujar Azhari.

Ia juga menyayangkan keberadaan 13 anggota DPR RI dan empat anggota DPD asal Aceh yang dituding Azhari tidak mempertahankan kewenangan Aceh yang disebutkan dalam UUPA. “Sehingga timbul pertanyaan dari kita di Aceh, keberadaan mereka di sana itu untuk apa, mereka itu mewakili siapa? Masa kewenangan Aceh dicabut, mereka diam saja. Kita di DPRA akan menyuarakan hal ini,” pungkas Azhari Cagee.

Dicabutnya dua pasal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh oleh Pemerintah Pusat telah menciptakan konflik regulasi baru. Pasalnya, pencabutan kedua pasal tersebut tanpa melakukan koordinasi dan konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sebagaimana diatur dalam UUPA.

Ketua Fraksi Partai Aceh di DPRA, Iskandar Usman Al-Farlaky kepada Serambi, Sabtu (22/7) menyatakan bahwa tidak menerima jika UUPA terus dibonsai oleh Pemerintah Pusat. “Ini sama dengan menciptakan konflik regulasi baru. Aturan yang dibuat ini juga tidak menyelesaikan masalah,” katanya.

Politisi Partai Aceh ini menjelaskan, harusnya dalam pencabutan pasal-pasal dalam UUPA, DPR RI melakukan konsultasi dengan DPRA. Aturan ini diatur dalam Pasal 269 ayat (3) UUPA yang disebutkan, dalam hal ada rencana perubahan undang-undang, harus dilakukan terlebih dahulu konsultasi dan mendapat pertimbangan DPRA.

Ia mengaku kecewa dengan sikap anggota DPR RI dan DPD RI asal Aceh yang tergabung dalam Forum Bersama (Forbes) yang tidak melakukan advokasi terhadap pembonsaian UUPA.

Ketua KIP Aceh yang dimintai tanggapanya mengatakan meskipun undang-undang pemilu sudah disahkan tetapi pihaknya tetap menggunakan UUPA sebagai landasan hukum, baik dalam hal perekrutan maupun hal lain.

Sementara Ketua Bawaslu Aceh, Dr Muklir SSos SH MAP juga menyampaikan perubahan regulasi itu sangat berpotensi timbulnya konflik regulasi di Aceh, apabila tidak disesuaikan dengan UUPA.

Akademisi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Saifuddin Bantasyam SH MA juga mengatakan persoalan ini akan menimbulkan kembali polemik di Aceh. Karena, kata Saifuddin, isi UUPA tidak bisa dicabut tanpa ada koordinasi dan konsultasi dengan DPRA. Ia meminta semua pihak mencari jalan keluar untuk menyelesaikan persoalan ini. “Kalo melihat ketentuan UUPA, ya tak bisa diutak-atik tanpa koordinasi atau konsultasi dengan DPRA,” katanya.

Ia menilai, akan ada masalah politis sekaligus masalah hukum yang timbul akibat pencabutan kedua pasal ini. Secara politis, jelasnya, akan timbul rasa kecewa dari Aceh kepada Pemerintah Pusat yang telah menafikan konsultasi dengan DPRA. Sementara secara hukum, tambahnya, persoalan ini akan berakhir ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Penyelesaian aspek politis ya komunikasi politik dengan berbagai pihak. Mungkin melalui komunikasi akan ditemukan jalan tengah. Saya sendiri sebenarnya tak ingin lagi melihat adanya konflik regulasi terkait Pilkada dan Pileg di Aceh. Rakyat lelah dengan konflik yang terus menerus,” ujar dosen Fakultas Hukum Unsyiah ini.

Direktur Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik Unsyiah ini menambahkan, dengan timbulnya konflik regulasi maka kinerja KIP dan Panwaslu Aceh juga akan terganggu. Tak hanya itu, konflik regulasi juga berdampak pada realisasi keuangan serta kepada partai peserta pemilu yang mengikuti Pileg 2019.

Untuk mencegah terjadinya konflik regulasi lagi, lulusan magister pada Ateneo de Manila University Filipina ini, menawarkan beberapa solusi seperti melakukan revisi UUPA atau legislative review, DPR RI memanggil DPRA, atau Gubernur Aceh, atau Irwandi Yusuf mengambil inisiatif untuk berbicara kembali dengan KPU RI, DPR dan DPRA.

“Saya berharap hal tersebut sesegera mungkin diselesaikan atau hendaknya diperoleh kepastian dalam beberapa bulan ke depan, atau setidak-tidaknya semester pertama tahun depan. Semua pihak harus bergegas cari solusi terbaik sesuai dengan aturan, jika perlu ke MK ya ke MK, jangan tunggu akhir 2018 atau awal 2019,” sarannya.

aceh.tribunnews.com
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :