INTERNASIONAL

[internasional][bleft]

NASIONAL

[nasional][bleft]

ACEH

[aceh][bleft]

TEKNOLOGI

[teknologi][threecolumns]

EKONOMI

[ekonomi][bleft]

SPORT

[sport][threecolumns]

Menimbang dampak poligami

KantoMaya News -- Perkara poligami kerap jadi sorotan, sebab dampaknya berimbas pada anggota keluarga, khususnya perempuan. Mari menyelisik polemik poligami.

Secara ilmiah, poligami itu cerminan perilaku seksual dan sosial. Bahkan ada temuan yang menyebut kecenderungan poligami sudah ada sejak lahir. Ada bahasan panjang untuk ini hingga akhirnya orang menemukan lebih nyaman diperlakukan dengan setia.

Di Abu Dhabi dan Dubai misalnya, poligami dianggap lazim. Kebanyakan alasannya untuk kesenangan.

Namun, praktik ternyata tak sesederhana itu. Begitu menikah, tuntutan para istri-istri pun bertambah akibat meredam sakit hati. Tak jarang banyak yang bercerai.

Sama halnya di Indonesia. Sejumlah kalangan dengan tegas menolak poligami. Bahkan menyebutnya bukan tradisi Islam dan merupakan bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Sayang, banyak perempuan enggan mengungkap dirinya sebagai korban KDRT, karena poligami sering kali menggunakan legitimasi agama.

Begitu pula, kebanyakan istri yang menggugat cerai sungkan mengemukakan alasan sesungguhnya karena faktor budaya patriarki, hingga sulitnya pembuktian. Misal, karena poligami dilakukan diam-diam, yang berarti kebohongan dan kekerasan terhadap perempuan telah dilancarkan.

Alhasil, dari 352.070 kasus perceraian sepanjang tahun 2016, hanya ada 675 kasus poligami tak sehat yang terdaftar. Padahal boleh jadi, jumlahnya lebih dari itu.

Meski melegalkan poligami, pada dasarnya hukum perkawinan Indonesia mendukung monogami. Hal tersebut ditegaskan dalam Undang-undang perkawinan (UUP) tahun 1974 Pasal 3 ayat (1) yang menjelaskan bahwa seorang pria hanya boleh beristri satu dan sebaliknya.

Sebagai pengecualian, poligami dibolehkan dengan beberapa syarat.

Pertama, apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan (Pasal 3 ayat [2] UUP). Kedua, suami wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya (Pasal 4 ayat [1] UUP).

Ketiga, apabila istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; istri tidak dapat melahirkan keturunan (Pasal 4 ayat [2] UUP).

Keempat, ada persetujuan dari istri-istri; ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka; ada jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

Bisa disimpulkan, berpoligami itu tak mudah. Akan sangat sulit berlaku adil.

Pasti ada dampak buruk dari timpangnya keadilan. Terutama yang dirasakan perempuan sebagai korban.

Ilmu pengetahuan pun mendukung hal tersebut.

Sebuah studi di American University of Sharjah pernah mencari tahu bagaimana perasaan perempuan ketika suaminya menikah lagi. Periset menyimpulkan bahwa poligami membuat perempuan menderita akibat merasa terabaikan dan cemburu.

Mereka pun sering mengalami emosi negatif. Mulai dari depresi, marah dan mengamuk, bahkan berbuah penyakit.

Studi ini diadakan lewat survei 100 perempuan Arab. Walau studi termasuk kecil, hasilnya sudah mencakup perasaan perempuan secara umum.

Dr Rana Raddawi sang pengada riset menyebutkan, perempuan kehilangan tempat berlindung dan rasa aman lainnya--termasuk finansial--begitu suami poligami. Ia juga menemukan banyak responden perempuan yang mengaku jadi jarang melihat suaminya dan tidak terpenuhi kebutuhannya semenjak poligami.

Dr Heba Sharkas, seorang konselor keluarga di Abu Dhabi menegaskan, laki-laki yang akan poligami harus aman secara finansial, dewasa secara emosional, dan punya kemampuan sosial. Intinya tanggung jawab.

Ia menambahkan, laki-laki juga harus memperhitungkan perasaan istrinya sebelum menikah lagi dan perlu menjelaskan mengapa dirinya menginginkan sebuah hubungan baru.

Menerima atau tidak, itu tergantung toleransi dan kesabaran istri. Lingkungan di mana perempuan itu tumbuh akan memengaruhi kemampuannya untuk menerima pernikahan poligami.

Studi dari Universitas Zayed di Dubai memberikan gambaran pendapat orang tentang poligami.

Hanya satu dari 10 perempuan yang mengatakan bahwa mereka akan menerima poligami. Sebagian besar membenarkan bahwa monogami lebih stabil, sedangkan poligami menyebabkan masalah pernikahan. Seringnya karena timbulnya ketidakadilan.

Dr Natasha Ridge, kepala penelitian di Al Qassimi Foundation for Policy Research di Ras Al Khaimah, bahkan menyatakan efek buruk poligami pada anak.

Menurutnya, peran ayah dalam keluarga poligami lebih sedikit. Artinya, ketimbang memberi pengaruh positif, keterlibatan ayah cuma sebatas pendisiplin. Fungsinya mirip pada perceraian, di mana keberadaan ayah malah jadi gangguan.

Namun, itu tak berlaku pada seluruh anak. Anak yang usianya lebih dewasa justru ditemukan lebih tahan banting menghadapi risiko poligami. Sama halnya dengan penerimaan perempuan, periset menyimpulkan bahwa faktor budaya juga berperan pada anak.

Tak hanya itu, poligami juga buruk bagi kesehatan mental. Studi di Suriah menemukan bahwa perempuan yang mengalami poligami merasa harga dirinya lebih rendah, kurang kepuasan hidup dan kepuasan perkawinan.

Efek paling parah menimpa istri pertama, yang ditemukan lebih banyak menimbulkan cekcok, tuntutan, permusuhan, lebih cemas, gelisah, dan paranoid dibanding istri kedua atau ketiga.

Beritagar.id
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :