INTERNASIONAL

[internasional][bleft]

NASIONAL

[nasional][bleft]

ACEH

[aceh][bleft]

TEKNOLOGI

[teknologi][threecolumns]

EKONOMI

[ekonomi][bleft]

SPORT

[sport][threecolumns]

YARA: Gelar Referendum di Aceh

KantoMaya News, JAKARTA - Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Safaruddin SH memohonkan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memerintahkan Ketua DPR Aceh menggelar referendum di Aceh. Referendum dimaksud untuk mendengar pendapat masyarakat Aceh, apakah setuju atau tidak setuju berlakunya Pasal 571 huruf (d) Undang-Undang No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal itu berisi pencabutan Pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), (2), dan (4) Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Permohonan itu disampaikan Safaruddin dalam sidang Mahkamah Konstitusi di Gedung MK, Jakarta, Selasa (24/10). Safaruddin bertindak sebagai pihak terkait dalam permohonan judicial review Undang-Undang No.7 Tahun yang diajukan DPR Aceh.

Safaruddin menyatakan, bahwa banyak masyarakat Aceh yang mendukung berlakunya Pasal 571 huruf (d) UU Pemilu, termasuk dirinya. Safaruddin juga berasumsi, bahwa ketidakhadiran Gubernur Aceh dalam perkara tersebut secara implisit menunjukkan sepakat dengan Pasal 571 huruf (d) tersebut.

Safaruddin menyatakan tidak sependapat dengan langkah DPR Aceh mengajukan Judicial Review pasal tersebut. “Jika pun akan diajukan, kami masyarakat di Aceh meminta agar DPR Aceh menggelar referendum di Aceh untuk meminta persetujuan seluruh masyarakat Aceh apakah mendukung atau tidak terhadap berlakunya pasal 571 huruf (d) UU No 7 tahun 2017,” ujar Safaruddin. Ia kemudian mohon Ketua MK memerintahkan Ketua DPR Aceh menggelar referendum dimaksud.

Selain mendengarkan keterangan Safaruddin, Majelis Hakim MK juga mendengarkan penjelasan tiga pihak terkait lainnya, yakni Samsul Bahri (Ketua Panwaslih Aceh), Ismunazar, mantan Ketua Panwaslih Aceh Utara dan Muhammad AH, mantan Ketua Panwaslih Kota Lhokseumawe. Ketiganya menyatakan tidak setuju dengan perubahan dan pencabutan Pasal dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh.

Kalau pun ingin diubah, kata Samsul Bahri, tidak mengurangi kewenangan Aceh. Sebaiknya juga perubahan dilakukan melalui revisi UU Aceh itu sendiri, bukan dengan Undang-Undang bersifat nasional lain, karena akan menimbulkan kerancuan. “Kalau pun perlu perubahan UUPA, bisa juga dilakukan judicial review pasal-pasal yang akan diubah tersebut,” kata Samsul Bahri.

Selanjutnya Samsul Bahri juga mengingatkan agar tetap melakukan konsultasi dan permintaan persetujuan apabila ada perubahan UUPA. “Itu adalah norma yang harus ditaati,” katanya.

Sedianya dalam sidang itu juga mendengarkan penjelasan dari DPR RI, tapi tidak hadir. Sedangkan Pemerintah diwakili oleh pejabat dari Kementerian Hukum dan HAM. Keterangan Pemerintah sesuai dengan keterangan yang telah disampaikan dalam sidang sebelumnya.

Menanggapi pernyataan pemerintahan itu, Kamaruddin SH, kuasa hukum dari Kautsar dan Tiyong menyampaikan kepada majelis bahwa sebelumnya Menteri Dalam Negeri telah mengirimkan surat kepada Ketua DPRA berisi permohonan maaf atas keterangan yang disampaikan dalam sidang MK. “Yang harus diperjelas adalah permohonan maaf itu untuk keterangan yang mana?” kata Kamaruddin. Majelis hakim kemudian meminta Pemerintah menanggapi pernyataan dari Kamaruddin tersebut. Sidang berikutnya dijadwalkan pertengahan November dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dan saksi.

aceh.tribunnews.com
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :