INTERNASIONAL

[internasional][bleft]

NASIONAL

[nasional][bleft]

ACEH

[aceh][bleft]

TEKNOLOGI

[teknologi][threecolumns]

EKONOMI

[ekonomi][bleft]

SPORT

[sport][threecolumns]

Sisa Anggaran 2017 Mencapai Rp 1,2 Triliun

KantoMaya News, Banda Aceh - Rendahnya serapan APBA 2017 berdampak pada tingginya sisa lebih penggunaan anggaran (SiLPA). Dari total APBA Rp 14,7 triliun lebih hanya terserap 91 persen, artinya terdapat SiLPA sebesar Rp 1,2 triliun yang nantinya akan dimasukkan ke pendapatan di APBA Perubahan 2018.

“Rp 1,2 triliun itu adalah angka yang besar walaupun nantinya akan menjadi SiLPA. Tapi yang kita sayang, kan proyek-proyek yang menjadi prioritas tahun anggaran 2017 tidak selesai,” kata Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRA, Nurzahri saat bincang-bincang dengan aceHTrend, Senin 1 Januari 2018 dini hari. Data tersebut menurutnya berdasarkan hasil laporan penggunaan anggaran per 29 Desember 2017.

Menurut Nurzahri, proyek-proyek yang belum siap dikerjakan tersebut akan menjadi bangunan terbengkalai selama tahun anggaran 2018. Pasalnya, untuk melanjutkan bangunan tersebut baru bisa dimasukkan kembali pada tahun anggaran 2019. Sebab, proses perencanaan anggaran harus melalui Musrembang, sementara Musrembang untuk tahun anggaran 2018 sudah dilaksanakan pada April 2017 lalu.

“Jadi kalau proyek tahun anggaran 2017 tidak selesai dan fisiknya baru setengah selesai maka baru bisa direncanakan pada 2019 nanti. Tidak bisa di 2018 karena perencaannya sudah lewat,” katanya.

Begitupun pihak rekanan, ketika tenggat waktu telah habis maka kontrak tender akan diputuskan dan pemerintah hanya akan membayar proyek tersebut seberapa persen yang siap.

“Kalau tendernya satu miliar dan baru selesai dikerjakan enam puluh persen maka yang dibayar hanya enam ratus juta rupiah, sementara empat ratus juta lagi akan menjadi SiLPA,” katanya.

Menurut Nurzahri, penyebab rendahnya serapan anggaran tersebut tidak terlepas dari masa transisi antara gubernur sebelumnya, Zaini Abdullah, dengan Gubernur Aceh yang baru, Irwandi Yusuf.

“Gubernur kan berganti pada Juli 2017, seharusnya pada Mei dan Juni proyek-proyek tersebut sudah harus ditender,” katanya.

Namun Nurzahri menyadari jika pada 2017 lalu terlalu banyak nuansa politik, selain faktor pergantian gubernur juga seringnya terjadi pergantian kepala SKPA.

Di awal 2017, Pejabat (Pj) Gubernur Aceh Soedarmo melakukan pergantian kepala SKPA, kemudian setelah masa Pj Soedarmo selesai Zaini Abdullah yang kembali menjabat setelah masa cutinya selesai sebagai calon gubernur incumbent, kembali merombak pejabat yang sebelumnya dilantik Soedarmo. Keadaan menjadi rumit saat hasil pergantian tersebut ditolak oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) disusul dengan adanya gugatan dari para pejabat yang dicopot oleh Zaini Abdullah.

Saat itu kata Nurzahri, para pejabat-pejabat yang dilantik oleh Gubernur Zaini Abdullah juga tidak berani mengambil kebijakan sehingga terbengkalailah semua tender, sementara Unit Layanan Pengadaan (ULP) Pemerintah Aceh tidak bisa melelang proyek apabila tidak ada dokumen yang diajukan oleh dinas-dinas.

“Faktor inilah yang menjadi penghambat, bahkan saat itu para kepala SKPA yang diangkat tidak berani menggunakan anggaran dinas,” katanya.

Belakangan kata Nurzahri, keluarlah izin pengangkatan kepala SKPA tersebut oleh Mendagri, namun keluarnya izin tersebut menjelang pergantian gubernur sehingga kepala SKPA yang diangkat Zaini Abdullah tidak memiliki waktu lagi untuk mereka mempersiapkan tender-tender tersebut.

“Sementara Irwandi yang saat itu baru dilantik juga sangat hati-hati dalam pengadaan tender tersebut. Ini yang kemuduian menurut saya sangat mempengaruhi terhadap proses keterlambatan proyek yang berdampak pada rendahnya serapan anggaran,” katanya.

ACEHTREND.CO
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :