INTERNASIONAL

[internasional][bleft]

NASIONAL

[nasional][bleft]

ACEH

[aceh][bleft]

TEKNOLOGI

[teknologi][threecolumns]

EKONOMI

[ekonomi][bleft]

SPORT

[sport][threecolumns]

Siapa yang Harus Kita Percayai di INDONESIA?

KantoMaya News -- Terbongkarnya kasus suap hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan merupakan tamparan untuk kesekian kalinya bagi Mahkamah Agung. Bersama Komisi Yudisial, MA semestinya segera memperketat pengawasan untuk mempersempit ruang gerak hakim nakal.

Modus suap yang diungkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi itu hampir sama dengan kasus-kasus sebelumnya, yakni melibatkan panitera. Mula-mula tim KPK menangkap panitera Muhammad Ramadhan dan menyita uang Sin$ 47 ribu (sekitar Rp 500 juta) di rumahnya. Duit titipan pihak yang beperkara ini diduga akan diserahkan kepada hakim PN Jakarta Selatan, Iswahyu Widodo dan Irwan.

Kebobrokan peradilan semakin terkuak lebar-lebar karena semua aktor terlibat. Selain panitera dan hakim, advokat Arif Friawan dan pebisnis Martin P. Silitonga ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Arif dan Martin diduga terlibat dalam pengaturan suap yang berkaitan dengan gugatan kasus akuisisi PT Citra Lampia Mandiri oleh PT Asia Pacific Mining Resources itu.

Suap di PN Jakarta Selatan itu merupakan kasus ketiga yang dibongkar KPK pada tahun ini. Tiga bulan yang lalu, terbongkar pula skandal suap hakim Merry Purba di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Medan. Komisi antikorupsi sebelumnya juga menangkap hakim PN Tangerang Wahyu Widya Nurfitri, seorang panitera, dan dua orang advokat dalam kasus serupa.

Hakim yang masuk penjara akan semakin banyak jika Mahkamah Agung tidak segera memperketat pengawasan. Dalam enam tahun terakhir, KPK telah menjerat 30 tersangka, terdiri atas hakim, panitera, dan staf pengadilan. Mahkamah bersama Komisi Yudisial seharusnya menerapkan sistem pencegahan yang lebih efektif untuk memerangi suap di pengadilan.

MA juga perlu menjatuhkan sanksi disiplin yang lebih keras kepada hakim dan panitera yang terindikasi nakal. Selama ini hasil pemeriksaan dan rekomendasi Komisi Yudisial mengenai hakim yang bermasalah terkesan diabaikan oleh MA. Kalaupun ada tindakan dari Badan Pengawasan MA, sanksinya terlalu ringan.

Tidak ada alasan pula para hakim tergoda suap, karena mereka sudah mendapat gaji dan tunjangan kinerja. Pemberian tunjangan yang diatur lewat Peraturan Presiden No.19/2008 ini jelas bertujuan menopang reformasi peradilan. Mahkamah Agung semestinya berupaya membuktikan bahwa perbaikan pendapatan ini bisa menjaga integritas hakim..

Sia-sia pula Ketua MA Hatta Ali mengagung-agungkan cetak biru pembaruan peradilan jika banyak hakim doyan suap. Pembaruan yang bertumpu pada elemen seperti integritas dan kejujuran ini jauh dari realitas sehari-hari. Skandal suap di PN Jakarta Selatan dan sederet kasus lain justru memperlihatkan bahwa peradilan kita masih bobrok karena putusan hakim masih bisa dibeli.

kolom.tempo.co
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :