INTERNASIONAL

[internasional][bleft]

NASIONAL

[nasional][bleft]

ACEH

[aceh][bleft]

TEKNOLOGI

[teknologi][threecolumns]

EKONOMI

[ekonomi][bleft]

SPORT

[sport][threecolumns]

Beri Grasi Terpidana Sodomi, Komitmen Jokowi Lindungi Anak Dipertanyakan

KantoMaya News, Jakarta - Kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengabulkan permohonan grasi terpidana kasus pencabulan siswa Jakarta Intercultural School (JIS), Neil Bantleman, disorot. Sikap Jokowi soal perlindungan anak-anak terhadap kasus kekerasan seksual dipertanyakan.

"Mari kita takar konsistensi kebijakan Presiden. Dengan mengajukan grasi, berarti terpidana mengaku bersalah. Pada sisi lain, Presiden Jokowi menyatakan bahwa kekerasan seksual terhadap anak merupakan kejahatan luar biasa," kata ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel kepada wartawan, Jumat (12/7/2019).

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pernah menyatakan Indonesia ada dalam situasi darurat kejahatan seksual terhadap anak. Menurut Reza, semestinya pemerintah menjadikan pernyataan KPAI sebagai dasar komitmen untuk melindungi anak-anak dari kejahatan seksual.

Reza kemudian mengungkap hasil penelitian yang menyatakan predator anak kerap mengulangi perbuatan.

"Sekarang, kita lihat hasil studi. Berbasis data sejak 1958 hingga 1974, misalnya, diketahui bahwa 42% predator melakukan residivisme. Pengulangan perbuatan jahat itu mencakup kejahatan seksual, kejahatan dengan kekerasan, dan kombinasi keduanya," tuturnya.

Reza mengatakan penerbitan UU 17/2016 tentang Perlindungan Anakmerupakan langkah awal untuk melindungi anak. Di dalam UU tersebut juga diatur ketegasan hukum terhadap para predator anak-anak, termasuk pemberatan sanksi.

"Dengan sebutan-sebutan sedahsyat itu, data seserius itu, dan ancaman sanksi seberat itu, bagaimana lantas publik bisa memahami bahwa grasi justru Presiden berikan kepada orang yang melakukan kejahatan luar biasa (dan turut berkontribusi bagi terjerumusnya Indonesia ke dalam situasi darurat)?" kata dia.

Sebelumnya diberitakan, Neil Bantleman, bekas guru Jakarta International School (kini Jakarta Intercultural School atau JIS), telah bebas. Neil mendapat grasi dari Presiden Jokowi.

Ibunda salah satu korban, Theresia, yakin itu berarti Neil mengakui perbuatannya. Theresia berniat meminta penjelasan pemerintah soal grasi Neil Bantleman ini pekan depan.

"Kalau memang dia dikasih grasi, berarti untuk dapat grasi kan perlu pengakuan. Berarti dia mengakui perbuatannya. Syarat untuk grasi kan mengakui perbuatannya dan berjanji tidak mengulanginya lagi. Ya sudah kalau dia mengakui, saya nggak minta apa-apa kok," kata Theresia kepada wartawan, Jumat (12/7).

"Sebagai orang tua korban, kalau dia mengakui ya kita bersyukur. Berarti kita nggak salah," tambahnya.

Pada April 2015, PN Jaksel menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara kepada Neil. Vonis itu dianulir oleh Pengadilan Tinggi Jakarta pada Agustus 2015. Baru menghirup udara bebas beberapa bulan, Neil kembali harus menghuni penjara. Sebab, pada Februari 2016, MA memutuskan Neil bersalah dan menghukum Neil untuk menghuni penjara 11 tahun lamanya.

Neil Bantleman sendiri pernah mengajukan peninjauan kembali (PK) pada 2017 namun ditolak oleh Mahkamah Agung. Pada tahun 2018, Neil lalu mengajukan grasi ke Presiden Jokowi. Grasi Neil Baintleman lalu dikabulkan oleh Jokowi pada 19 Juni 2019. Neil lalu bebas 2 hari setelahnya dan pulang ke Kanada.

Menurut UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Kendati begitu, pemberian grasi tak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana.

Detik.com
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :