INTERNASIONAL

[internasional][bleft]

NASIONAL

[nasional][bleft]

ACEH

[aceh][bleft]

TEKNOLOGI

[teknologi][threecolumns]

EKONOMI

[ekonomi][bleft]

SPORT

[sport][threecolumns]

Rohingya, Antara Misi Kemanusiaan Masyarakat Aceh dan Isu Politik Arakan

Rohingya, Antara Misi Kemanusiaan Masyarakat Aceh dan Isu Politik Arakan

Novendra Deje | Ketua Komunitas Studi Filsafat dan Agama (KSAF)

KantoMaya News - Aceh hari ini tengah menjadi buah bibir masyarakat dunia karena aksi spontanitas masyarakatnya mengulurkan tangan kemanusiaannya menyelamatkan dan menampung warga negara Myanmar beretnis Rohingya. Para nelayan dikabarkan melakukan sejumlah evakuasi terhadap mereka yang disebut “manusia perahu” yang terombang-ambing di perairan pantai timur Aceh, untuk kemudian ditampung di barak-berak pengungsian di Aceh Timur dan Aceh Utara. Bahkan sempat tersiar kabar ada yang mengusulkan diberikan saja satu pulau yang kosong di Aceh untuk dihuni etnis Rohingya.

Etnis Rohingya beragama Islam yang mendiami wilayah Arakan itu telah mengalami diskriminasi dan penindasan sedemikian rupa, menjadi korban kekerasan, dan terusir dari tanahnya. Bahkan sikap resmi pemerintah Myanmar pun tidak mengakui kewarganegaraan muslim Rohingya. Seperti yang massif diberitakan, Biksu Ashin Wirathu mencuat namanya sebagai pemimpin ekstrim Budha yang mengomandoi tindak diskriminasi dan sadisme terhadap Muslim Rohingya. Pemerintah Myanmar seperti tidak hadir sama sekali, dan bahkan junta militer negara itu terlibat dalam mendukung ekstrimis Budha melakukan tindak kekerasan dan pembantaian terhadap muslim Rohingya.

Kartu identitas sementara etnis Rohingya pada Februari lalu dinyatakan oleh Presiden Thein Sein tidak berlaku lagi. Ini tidak lain adalah persoalan Rohingya adalah warga yang tidak diakui kewarganegaraannya di MyanmarSetelah pengumuman itu, pilihan melakukan imigrasi yang layak disebut pelarian untuk mencari perlindungan atas rasa aman oleh muslim Rohingya pun kembali marak, hingga mereka menggungakan perahu yang penumpang over load terkatung-katung memasuki Selat Malaka dengan kondisi yang tragis.

Namun demikian, pertanyaan kritis layak diungkapkan bahwa apakah konflik dan penindasan yang dialami muslim etnis Rohingya murni terjadi dikarenakan faktor agama, seperti yang tampak di permukaan? Atau ada tangan-tangan lain yang bermain untuk kepentingan tertentu, memanfaatkan isu konflik sektarian klasik sebagai modal memprovokasi keadaan dan meraup keuntungan?

Faktor sejarah telah menimbulkan dendam berkepanjangan, akibat konflik internal di Kekaisaran Mogul pada tahun 1658. Kasusnya berawal saat pangeran India Shah Shuja mencari perlindungan ke Arakan pada tahun 1661, tapi dia dibunuh oleh raja yang beragama Islam, sehingga memicu perang saudara antara etnis Rohingya yang muslim dengan Arakan yang Budha. Perang berkelanjutan ini melemahkan Arakan hingga akhirnya dapat direbut oleh Raja Burma.

Namun ada sisi geopolitik dan energi yang penting untuk diungkap terkait nasib yang menimpa etnis Rohingya di Arakan. Seperti analisis dari lembaga Global Future Institute (GFI) yang dimuat pada situs onlinenya The Global Review (TGR) pada Juli 2012, bahwa ada Sebuah kombinasi dari faktor politik dan geografis yang memberikan ciri terhadap suatu negara atau wilayah tertentu, ungkap GFI yang mengutip Purbo S. Suwondo, Teori Strategi, PKN UI, 30 Juni 2011. Dmana dinamika politik di era globalisasi kini melahirkan realitas kembar tak pisahkan, yakni: geopolitik dan geo-ekonomi.

Memahami “tragedi kemanusiaan” di Myanmar, menutur GFI, mutlak harus dimulai dari kasus penemuan gas bumi di Shwe (emas) Blok A1-Teluk Bengal sekitar dekade 2004, yang membuat Myanmar kini memiliki kekayaan minyak dan gas bumi dengan potensi fantastis. Prakiraan deposit gas mencapai 5,6 triliun kubik, tidak akan habis dieksploitasi hingga 30-an tahun. Semenjak itulah, tulis TGR, bentangan pantai sepanjang 1.500 km antara Teluk Bengal - batas laut Andaman, Thailand menarik perhatian negara-negara. Tercatat Cina, Jepang, India, Perancis, Singapura, Malaysia, Thailand, Korsel dan Rusia menyerbu Myanmar untuk eksplorasi serta eksploitasi penemuan tersebut, kecuali AS agak belakangan melalui sharing via Chevron (AS) dan Total, Perancis.

Masih menurut GFI, Cina bertekad membangun pipa sepanjang 2.300 km dari pelabuhan Sittwe, Teluk Bengal sampai Kunming, Cina Selatan. Jika kelak pipanisasi seharga 3 miliar dolar AS itu selesai, seluruh impor minyak dari Timur Tengah dan Afrika cukup dipompa melalui Sittwe ke salah satu kilangnya di Kunming. Mengutip analisis Lim Tai Wei, analisis dari Institute of International Affairs, Singapura, apabila proyek itu selesai maka geopolitik di Asia Tenggara bakal berubah, terutama dalam hal distribusi minyak. Ibarat memangkas jarak pelayaran sejauh 1.820 mil laut (World Politics Review, 21/8/2006), bahkan lebih dari sekedar memangkas jarak, modal transportasi import minyak Cina dalam jalur sangat aman dan lebih murah.

Dua perusahaan Cina menandatangani kontrak mengelola eksplorasi minyak dan gas pada Blok M di Kyauk-Phru Township dan Blok A-4 di Arakan State. Selain itu telah pula ditandatangani MoU antara Petro Cina dengan junta militer Myanmar (7 Desember 2005) untuk membangun saluran pipa dari Arakan, Myanmar ke Provinsi Yunan di Cina. Ada kontrak bagi hasil eksplorasi antara Kementerian Energi Myanmar dengan perusahaan Cina di Blok No C-1 (Indaw-Yenan Region) dan Blok No C-2 (Shwebo-Monywa Region). Selain Cina, memang ada perusahaan nasional Korea Selatan juga memiliki ijin eksplorasi minyak dan gas lepas pantai. Sedang kelompok Barat, Perancis dan AS melalui Total hanya menguasai tambang di Adanna, Cevron cuma memiliki 28% saham atas tambang tersebut.

Pola hegemoni AS selama ini menurut GFI tak boleh lepas dari kajian strategis Deep Stoat tentang penempatan aspek minyak sebagai Agenda Kepentingan Nasional: “If you would understand world geopolitics today, follow the OIL”, dan dalam beberapa hal, Cina merupakan rival berat AS. Konsumsi minyak Cina sudah separuh di pasar internasional, dan kompetisinya dengan AS kerapkali berlangsung ketat dalam penguasaan sumber-sumber minyak di berbagai negara.

AS dan Barat paham sekali akan faktor sejarah yang menyimpan potensi konflik itu. Ketika inggris keluar dari Myanmar dan membiarkan Myanmar merdeka, memang sengaja menanamkan bom waktu ke Myanmar dengan membiarkan Arakan masuk bagian Myanmar yang mereka tahu bahwa Arakan tak ingin menjadi bagian dari negara itu. Maka bisa ditebak keributan dan kekacauan di Arakan dengan korban etnis Rohingya tidaklah datang dengan sendirinya. Kejadian itu hasil sebuah grand design dengan skenario yang hebat .

Butuh pelacakan lebih jauh terkait konstelasi geopolitik global oleh para pemain kekauatan utama yang terhubung dengan fenomena Arakan di Myanmar kini. Latar etnis dan agama memang memang sensitif memicu terjadinya konflik, namun pada banyak kasusnya, celah perbedaan etnis dan agama itu merupakan lahan subur bagi konspirator yang memiliki kepentingan sangat serakah atas penguasan ekonomi dan energi. Dengan tanpa mengindahkan moralitas, etnis tertentu dan agama-agama tertentu dijadikan boneka mainan,dengan skenario yang sangat cerdas dan sokongan dana melimpah.

Karena itu, seluruh elemen masyarakat Aceh layaknya menyadari dan memiliah dengan cerdas antara tindakan kemanusiaan dengan keharusan menentukan sikap politik terkait posisi muslim etnis Rohingya, dengan mempertimbangkan data-data dan analisis yang berkembang tentangnya. Tindakan kemanusiaan masyarakat Aceh terhadap pengungsi Rohingya telah berada pada jalurnya yang tepat dan memenuhi seruan moral kemanusiaan. Namun untuk menentukan sikap politik dan dukungan lebih lanjut kepada muslim etnis Rohingya, hendaknya ada suatu kajian yang benar-benar kritis, hingga tidak terjerumus dalam skenario global yang merugikan dan bahkan menghilangkan kehormatan dan kedaulatan Rohingya.

Sumber : adatkita.com

Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :