INTERNASIONAL

[internasional][bleft]

NASIONAL

[nasional][bleft]

ACEH

[aceh][bleft]

TEKNOLOGI

[teknologi][threecolumns]

EKONOMI

[ekonomi][bleft]

SPORT

[sport][threecolumns]

PARLOK : Perbedaan atau Perpecahan

PARLOK : Perbedaan atau Perpecahan
HARI-hari belakangan ini publik Aceh disuguhi kisah perpecahan internal Komite Peralihan Aceh – Partai Aceh. Apa yang sedang dipertontonkan para petinggi amat memalukan dan memprihatinkan. Kita seperti sedang menonton sinetron yang penuh intrik dan dramatis.

Kita seperti melihat kisah nelayan menarik kawanan ikan dengan lampu besar. Ikan yang tadinya berkumpul di tuasan atau karang ditarik ke laut bebas. Dan kemudian dipukat dan ditarik ke atas perahu. Begitu juga kisah KPA PA. Mereka tertarik oleh gemerlapnya lampu kekuasaan. Lampu materialisme. Tanpa sadar mereka kemudian akan dimusnahkan.

Seperti kita lihat selama ini KPA PA menghabiskan banyak energi memenangkan pertarungan kuasa. Menghabiskan banyak energi untuk bertikai sesama mereka. Ruang ini kemudian dimanfaatkan para oportunis untuk terus menggesek.

Perpecahan ini mereka manfaatkan untuk mengambil keuntungan. Maka jangan heran kita melihat banyak teman idologis terpinggirkan. Para petualang kini dapat panggung. Mereka hampir mengisi semua ruang di sekeliling penguasa. Perpecahan ini telah merugikan Aceh dalam skala yang luas.

Butir-butir kesepakatan Helsinki dan UUPA tidak juga terealisasi. Sementara pemerintah pusat seperti mengambil manfaat. Mereka merasa tidak terlalu ditekan. Kemudian pura-pura lupa.

Sudah 10 tahun perdamaian. Rezimpun sudah berganti. Tapi aturan pelaksanaan UUPA tak jua selesai. Herannya sudah begini rumit keadaan bukannya KPA PA bersatu. Tapi malah eskalasi perpecahan makin meninggi. Bila dulu pecah di lapisan kedua atau ketiga, kini malah di jajaran puncak.

Sikap Gubernur yang mau menang sendiri, Wali yang terkantuk-kantuk di kursi empuk, menyebabkan pertengkaran makin melebar. Tuha Peuet KPA PA bukan menjadi orang tua. Malah di sinilah sumber perpecahan. Sejak Pilpres lalu perpecahan ini mereka pertontonkan ke publik. Memalukan, ulah Gubernur dan Zakaria Saman membawa perbedaan dukungan ke ranah perpecahan internal. Saat itu Jokwi JK seperti tuhan bagi mereka. Sehingga demi calon presiden ini mereka menghancurkan partai.

Menghancurkan soliditas sesama mereka. Seharusnya sebagai orang yang dituakan mereka lebih bijak. Bukan memenangkan Pilpres yang menjadi tujuan. Tapi meraih semua hak Aceh lah menjadi tujuan. Ini diperparah oleh jajaran pengurus harian yang juga melayani konflik. Hampir tidak ada yang bisa menurunkan tensi kedua kelompok ini. Wali Nanggroe juga seperti “seuniboe lam krueng”. Terbawa ke mana pun air mengalir. Tidak punya sikap. Tidak mau tegas. Cenderung cari aman.

Apa yang sedang dipertontonkan KPA PA tidak masuk akal. Pasalnya mereka adalah bekas kaum pejuang. Pejuang bersenjata yang militan di masa lalu. Kenapa setelah damai mereka menjadi disorientasi? Mengapa mereka lupa tujuan pokok? Ke mana ideologi mereka. Ke mana ingatan mereka.

Apakah kekuasaan dan sedikit materi telah membutakan? Membuat mereka Amnesia. Lupa segala kisah masa lalu. Apa yang didapat hari ini adalah buah dari pengorbanan nyawa, harta dan raga.

Sadarkah mereka perdamain ini untuk jalan pencapaian tujuan perjuangan. Perjuangan menuju Aceh makmur dan sejahtera lahir batin. Bukan perjuangan untuk memperkaya diri, keluarga dan kroni. Atau memang selama perang mereka menipu kita dengan tujuan sebenarnya. Ingat Pilkada bukan tujuan kita berperang. Panggung kekuasaan yang diperebutkan bukan tujuan akhir. Ini hanya sebuah proses mendapat legalitas bagi mencapai tujuan perjuangan. Bukan akhir semua kisah.

Jalan masih panjang. Pemilu lalu rakyat masih mempercaya mereka. Maka sudah saatnya mereka bekerja lebih kuat. Menuntaskan semua janji kepada rakyat. Menuntaskan ikrar kepada teman yang telah meninggal. Sebab bagi yang masih hidup untuk menjadi pahlawan bukan sukses berdamai. Tapi menjadi pahlawan bila janji dan ikrar terwujud. Bila dengan apa yang sedang dipertonton tujuan sebenarnya. Tidak perlu ada perang. Tidak banyak korban. Kursi wali, gubernur dan jabatan empuk lain adalah alat. Alat bagi menjadi eksekutor atas cita-cita bersama. Alat bagi menebus pengorbanan perang. Jadi sama sekali tidak relevan dengan perilaku saat ini. Seolah semua jabatan empuk itu akhir perdamaian. Rakyat capek dengan retorika. Mereka butuh bukti. Butuh sejahtera. Butuh damai. Dan ini menjadi tugas orang-orang yang diberi kuasa. Jangan berteman dengan oportunis dengan menyingkirkan teman seiring. Jangan korbankan perjuangan demi jabatan sesaat. Atau Anda akan ditabalkan pecundang, bukan sebagai pahlawan.

Sumber : Portalsatu.com
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :