INTERNASIONAL

[internasional][bleft]

NASIONAL

[nasional][bleft]

ACEH

[aceh][bleft]

TEKNOLOGI

[teknologi][threecolumns]

EKONOMI

[ekonomi][bleft]

SPORT

[sport][threecolumns]

MoU Atau Kontrak Perdamaian

MoU Atau Kontrak Perdamaian

JELANG momentum torehan tinta di atas kertas yang kemudian dikenal dengan penandatanganan Mou Helsinki pada 15 Agustus 2006 lalu, menandakan penghentian perang antara Gerakan Aceh Merdeka dan RI. Perang kemudian berganti damai dan dengan serta merta menghentikan riuh pikuk suara senapan yang mematikan dan membuat nyali seluruh rakyat antara hidup dan mati.

Selain fakta sejarah yang terulang kembali dimana hakekat perjuangan rakyat Aceh menuju kedaulatan dan marwah bangsa Aceh akan berakhir, selalu dilalui sampai batas perdamaian dan segala janji maupun kompensasi dari pergolakan tersebut.

Hal menarik dari momen perdamaian adalah dimana fase tersebut mampu mengosongkan jiwa dan pikiran seluruh pelaku maupun rakyat Aceh untuk menerima dan memulainya. Kehidupan babak baru dengan segala harapan untuk lebih baik. Dalam waktu yang sama pula seluruh rakyat Aceh seakan menciptakan pola pikir baru untuk masa depan generasi bangsa.

Dalam fase ini juga lahir berbagai kelompok masyarakat yang menggabungkan diri dalam berbagai organisasi dengan berbagai kegiatan mencari format diri, entah untuk kepentingan pribadi atau rakyat. Namun kegiatan ini lebih ke mengisi agenda politik. Saling sikut, hujat, sentimen, adu domba dan mendiskreditkan satu sama lainnya serta menyalahkan menjadi gambaran dinamika Aceh saat ini. Sementara harapan dan kepercayaan rakyat kepada pemerintah menjadi hilang.

Dalam kontrak perdamaian yang bersejarah tersebut, pemerintah Indonesia sepakat untuk memberikan semacam kompensasi untuk Aceh yang kemudian disebut dana otonomi khusus. Dana ini digelontorkan selama 20 tahun dengan nilai taksiran lebih kurang senilai Rp 127 triliun. Dana ini dicicil oleh pemerintah Indonesia setiap tahunnya. Selain itu, pemerintah Indonesia juga memberikan dana bagi hasil minyak dan gas untuk Aceh. Namun semua dana tersebut hingga kini belum jelas format dan sistem pembagiannya. Aceh ibarat menggenggam angin.

Kondisi terkini seluruh rakyat menanti hasil perjuangan menuntut keadilan dari pergolakan antara Aceh dan Jakarta. Namun yang terjadi adalah Aceh kehilangan momentum dalam menggenggam buah hasil perjuangan itu.

Para pihak penyelenggara pemerintah yang notabenenya adalah orang-orang berpendidikan tinggi belum mampu menyusun format pembangunan yang memiliki exit strategi dengan kondisi pola pikir rakyat saat ini.

Alih-alih sekarang kita malah mulai menilai kena tipu atau tertipu oleh perbuatan mata dan tangan kita? Ataukah pikiran kita yang telah terpasung oleh mata rantai aturan di negeri ini? Ataukah kita harus lebih bersemangat membangun rakyat Aceh untuk lebih bersatu padu dalam melaksanakan pembangunan?

Seyogianya seluruh kita, terutama para pemimpin negeri, harus melakukan gerakan “Rekayasa Pola Pikir” menuju kedaulatan Aceh dari hasil kontrak perdamaian yang kita dapatkan. Ajak semua pihak dalam kesetaraan untuk menggalang potensi pemikiran yang cemerlang guna masa depan rakyat Aceh.

Mari kita bersama-sama bersatu padu menuju cita-cita anak bangsa. Syukurilah dengan kesempurnaan diri yang diberikan tuhan dan jangan jadikan diri buta serta tuli. Hilangkan sifat kemunafikan diri dalam keadaan rakyat dewasa ini.

Hanya Allah yang tahu kontrak perdamaian ini akan terus berlanjut atau harus anak cucu kita merevisi kontrak perdamaian di kemudian hari. Semoga tulisan ini menjadi renungan kita bersama.

Penulis: Win Marzuki atau dikenal dengan Wen Rimba Raya. Dia adalah mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk Wilayah Linge.
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :