INTERNASIONAL

[internasional][bleft]

NASIONAL

[nasional][bleft]

ACEH

[aceh][bleft]

TEKNOLOGI

[teknologi][threecolumns]

EKONOMI

[ekonomi][bleft]

SPORT

[sport][threecolumns]

Jurus DPR menohok Ahok

Jurus DPR menohok Ahok
Pilkada 2017 yang rencananya bakal digelar pada Februari, belum ditetapkan tahapannya. Namun saat ini atmosfer politiknya sudah memanas, dan gaduh. Partai politik mulai bermanuver dengan aneka agenda.

Landasan hukum pelaksanaan Pilkada 2017 pun sesungguhnya belum ada. UU No.8/2015 tentang Pilkada, yang dijadikan KPU sebagai pijakan membuat draf tahapan Pilkada, sudah disepakati DPR dan Pemerintah untuk direvisi. Namun sampai sekarang Pemerintah yang menjadi inisiator revisi, belum menyampaikan draft revisi kepada DPR.

Partai politik paling reaktif soal pilkada kali ini. Pemicunya keputusan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, yang ingin maju dalam Pilkada 2017 dari jalur nonparpol. Elite PDIP sampai melakukan blaming, calon independen dinilai sebagai bentuk deparpolisasi dan liberal.

Isu deparolisasi pun kandas, karena masyarakat pun paham, calon independen alias nonparpol adalah legal. Dalam UU Pilkada memang tak disebut calon independen, tapi calon perseorangan. Artinya bila calon independen dicap deparpolisasi dan liberal, sesungguhnya yang melakukan deparpolisasi dan liberalisasi pilkada adalah parpol sendiri. Karena UU Pilkada yang membuat adalah para kader parpol yang ada di DPR.

Isu barupun dimunculkan. Syarat calon perseorangan akan diperberat dalam revisi UU Pilkada yang naskahnya tengah dipersiapkan pemerintah. Wacana memperberat syarat calon independen ini disampaikan oleh Fraksi PDIP, PKB, Golkar dan PPP. Caranya persyaratan calon nonparpol untuk maju di pilkada disamakan dengan calon dari parpol.

UU Pilkada menetapkan parpol atau gabungan parpol bisa mengajukan calon kepala daerah, dengan syarat didukung 20 persen suara atau 25 persen kursi di DPRD. Sedang untuk calon perseorangan, syaratnya didukung 6-10 persen jumlah penduduk sesuai kepadatan penduduk di setiap daerah. Namun ketentuan itu kemudian diubah oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dengan 6-10 persen dari jumlah pemilih tetap pilkada periode sebelumnya.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Lukman Edy, memastikan syarat calon independen ini akan disusulkan dalam revisi UU Pilkada nanti. Ada dua skenario usulan perubahan, yaitu 10-15 persen atau 15-20 persen.

Wacana menambah dukungan masyarakat terhadap calon nonparpol ini, bisa dibilang sebagai reaksi berlebihan atas majunya Ahok melalui jalur nonparpol. Sebab, sebelum Ahok mengumumkan pencalonan dirinya, isu syarat calon independen tidak diwacanakan sama sekali.

Selama ini DPR dan Pemerintah seperti sudah sepakat, perubahan syarat calon perseorangan, rencananya hanya memasukkan keputusan MK; 6-10 persen dari jumlah penduduk, menjadi 6-10 persen dari pemilih tetap pilkada sebelumnya. Putusan ini sudah dijalankan pada Pilkada 2015.

Bila DPR memaksakan syarat dukungan terhadap calon nonparpol, sama halnya parpol hanya ingin menohok Ahok. Pemilih tetap Pilkada DKI 2012, sekitar 7 juta orang. Bila syarat dukungan 15 persen, Ahok harus mengumpulkan 1.050.000 KTP dukungan.

Padahal, sampai saat ini, Teman Ahok, relawan pengumpul dukungan untuk Ahok-Heru Budi Hartono, baru bisa mendapatkan 99.653 KTP dukungan. Ini berarti bila aturan baru usulan DPR itu diberlakukan, sangat memungkinkan untuk mengandaskan ambisi Ahok maju dari jalur perseorangan.

Dalih menyamakan persyaratan dari calon parpol dan nonparpol, yang mendasari usulan perubahan, juga mengada-ada. Dua jalur menuju pencalonkan kepala daerah tersebut memang berbeda dan tak mungkin disamakan. Parpol untuk memenuhi ketentuan perundangan dalam mengusung calon kepala daerah, bisa berkoalisi dengan beberapa parpol. Kalau calon perseorangan mau berkoalisi dengan siapa?

Pilkada 2017, bukan sekadar pemilihan gubernur DKI Jakarta saja, tapi akan melibatkan 101 daerah. Maka akan menjadi kesalahan fatal bila revisi UU Pilkada hanya karena parpol paranoid melihat sepak terjang Ahok yang dalam berbagai survei memiliki elektabilitas yang tinggi.

Jika parpol tak ingin Ahok kembali terpilih menjadi Gubernur DKI, cara paling elegan tentu parpol mengusung calon yang bisa menandingi kualitas dan rekam jejak Ahok. Berikan masyarakat Jakarta alternatif calon pemimpin yang berkualitas, dan biarkan yang menentukan pilihannya.

Kehadiran calon dari jalur perseorangan, semestinya malah bisa dijadikan introspeksi bagi parpol. Pilkada 2015 misalnya, dari 137 calon kepala daerah nonparpol, sebanyak 14 persen memenangi pilkada. Ini sebenarnya memberi makna bahwa ada yang harus dibenahi di dalam tubuh parpol, terutama dalam kaderisasi dan seleksi figur yang diajukan dalam pilkada.

Calon nonparpol jelas akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pesta demokrasi daerah. Calon independen hanya bisa menang bila dia bisa memenuhi idealisme politik masyarakat yang selama ini muak dengan parpol. Mereka selama ini sering disebut golongan putih (golput), alias kaum apolitis.

Padahal mereka sesungguhnya bukan apolitis, mereka mencari alternatif. Karena parpol tak bisa menampung aspirasi mereka. Dan kelompok ini menemukan representasi politiknya pada calon dari jalur nonparpol.

Di sisi yang lain, merevisi UU hanya untuk kepentingan sesaat, akan membuat kualitas UU Pilkada semakin buruk. Sebab, bila kepentingan berubah, niscaya UU akan diubah lagi. Padahal semua orang juga paham, kepentingan politik selalu berubah. Lagi pula, perubahan UU itu tak sekadar memakan waktu tapi juga energi dan biaya.

Sekadar catatan UU No. 8/2015 ini, termasuk UU paling banyak digugat. Menurut catatan MK, sepanjang 2015 saja, UU ini mendapat permohonan uji materi sebanyak 31 kali. Apakah berarti UU ini tidak berkualitas? Anda bisa menyimpulkannya sendiri.

Bila dasar hukum pelaksanaan pilkada kualitasnya buruk, jangan berharap masyarakat bisa mendapatkan kepala daerah yang berkualitas. Karenanya tekad Presiden Joko Widodo yang menolak rencana mengubah syarat calon perseorangan di luar keputusan MK, patut diapresiasi.

Presiden mengingatkan revisi UU pilkada, bertujuan untuk perbaikan kualitas pilkada. Artinya perundangan ini harus bisa mengantisipasi dinamika masyarakat di masa mendatang. Ia juga meminta dalam revisi tidak ada perangkap kepentingan politik jangka pendek.

Pilkada adalah bagian penting proses pendidikan politik bagi masyarakat, dan mendewasakan demokrasi Indonesia. Itulah sebabnya kita harus menjaga agar pilkada tidak dijadikan pemuas libido kekuasaan parpol.

Beritagar.id
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :