INTERNASIONAL

[internasional][bleft]

NASIONAL

[nasional][bleft]

ACEH

[aceh][bleft]

TEKNOLOGI

[teknologi][threecolumns]

EKONOMI

[ekonomi][bleft]

SPORT

[sport][threecolumns]

Aplikasi percakapan jadi incaran

KantoMaya News -- Berita tentang pemblokiran media sosial serta aplikasi percakapan (messaging apps) terenkripsi kembali mencuat. Giliran Telegram yang kena tapis pemerintah, karena dianggap turut menyebarkan pesan berbau terorisme. Tren ini dilaporkan sudah menguat sejak 2016, dalam laporan Freedom on the Net 2016.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) secara resmi merilis pernyataan bahwa pemerintah Indonesia telah meminta Internet Service Provider (ISP) untuk memutus akses (pemblokiran) terhadap sebelas Domain Name System (DNS) milik Telegram. Blokir berlaku per Jumat (14/7/2017).

Kemenkominfo juga sedang memproses penutupan aplikasi buatan Pavel Valeryevich Durov (32) itu secara menyeluruh di Indonesia--tidak hanya layanan berbasis web. Ancaman berlaku bila pengelola tidak menyiapkan Standard Operating Procedure (SOP) penanganan konten yang melanggar hukum di Indonesia.

Kabar terkini, Telegram telah menawarkan solusi dan menjalin komunikasi dengan pemerintah Indonesia. Mereka baru menyadari adanya permintaan memblokir sejumlah kanal publik berisi konten terorisme dan radikalisme. Sesuai janji, pemblokiran bisa dikaji ulang jika Telegram membuat SOP untuk penanganan konten-konten terlarang itu.

Tren pemblokiran yang mengincar aplikasi percakapan sudah diperingatkan Freedom House, sebuah LSM dengan fokus kebebasan di internet asal Amerika Serikat. Dalam beberapa tahun terakhir, platform media sosial, termasuk aplikasi percakapan, menghadapi peningkatan ancaman pemblokiran dengan berbagai alasan.


Lembaga yang berdiri pada 1941 itu menyebut, pada 2016 terdapat 24 pemerintah dari 65 negara yang diamati telah menapis akses terhadap media sosial dan aplikasi percakapan tertentu. Angka ini meningkat hampir dua kali lipat dibanding laporan pada tahun sebelumnya.
Freedom House 2016

Pemerintah di 15 negara menutup akses ke internet, atau akses ke aplikasi dan situs web tertentu dengan beragam alasan, misalnya untuk mencegah penyebaran informasi yang dinilai melanggar hukum setempat. Tak hanya menyasar platform komunikasi, para penggunanya pun ada yang ditangkap.

Dalam catatan Freedom House 2016, aplikasi percakapan terbanyak jadi sasaran adalah WhatsApp. Aplikasi yang sudah dibeli Facebook itu diblokir di 12 negara. Adapun Telegram (hingga 2016), sudah ada empat negara yang memblokirnya. Indonesia akan menjadi negara kelima bila Telegram gagal memenuhi persyaratan pemerintah.

Secara umum, ada dua fitur utama yang jadi alasan kenapa aplikasi percakapan kian gencar diincar. Pertama, karena enkripsi yang semakin menyulitkan pemerintah melakukan penyadapan (secara legal sekalipun). Kedua, fitur pengiriman teks dan suara serupa telepon, karena dinilai merugikan perusahaan operator telekomunikasi.

Aksi pemblokiran ini menimbulkan kekhawatiran, karena dinilai melanggar hak dasar pengguna internet yang termaktub dalam resolusi PBB pada Juli 2016. Komisi Hak Asasi Manusia PBB menyerukan kecamannya terhadap disrupsi oleh pemerintah terhadap kebebasan informasi di ranah daring. Bagaimanapun, bukan hanya teroris penggemar layanan komunikasi di dunia maya tersebut.

Freedom House yang melaporkan peringkat kebebasan di internet sejak 2011, memberi skor 44 dari 100 untuk Indonesia pada 2016. Semakin besar skornya, semakin tidak bebas negara tersebut. Dengan skor 44, Indonesia disebut sebagai negara "bebas sebagian". Capaian yang sedikit lebih buruk dibanding pada 2015, dengan skor 42.

Desakan menangani konten terorisme di internet

Pemerintah Indonesia menempuh "jalan pedang" untuk mengatasi konten-konten terlarang di ranah daring, termasuk yang berbau SARA, terorisme, radikalisme, dan pornografi. Pemblokiran semakin mudah dilakukan, khususnya setelah revisi UU ITE(Informasi dan Transaksi Elektronik) yang berlaku per November 2016 silam. Mekanisme pemblokiran maupun penyadapan, selama ini masih jadi perdebatan.

Pemerintah beralasan, ihwal terorisme dan radikalisme harus berpikir dan bertindak cepat. Karena itu kepolisian, BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), dan BIN (Badan Inteligen Negara), mendapat "karpet merah". Mereka bisa langsung mengajukan permintaan ke pejabat eselon dua Kemenkominfo, pemblokiran pun bisa dieksekusi.

Meski mengakui pemblokiran adalah ketidakberhasilan, pemerintah tetap melakukannya. Dalam kasus Telegram, pemerintah mengklaim punya bukti ratusan halaman tentang terorisme dan radikalisme. Keputusan mencabut akses lewat ISP pun sudah didiskusikan dengan parapihak, seperti Polri, Staf Kepresidenan, dan TNI.

Tekanan bagi layanan terenkripsi, bakal kian meningkat seiring meningkatnya serangan teroris secara global. Indonesia bukan satu-satunya negara yang mencari solusi. Selain memblokir, upaya lainnya adalah meminta akses khusus ke penyelenggara layanan untuk memantau komunikasi teroris. Upaya yang juga mengundang perlawanan.

Pascateror di Paris pada 2015, pemerintah Prancis sempat menggagas UU agar aparat keamanan diberi hak lebih besar untuk memonitor dan menangkap individu terduga pelaku terorisme serta jaringannya. Namun Mahkamah Konstitusi Prancis menyatakan UU tersebut inkonstitusional.

Upaya serupa sudah ditempuh Rusia, dengan UU Anti-Terorisme pada Juni 2016 yang memberi hak kepada Biro Intelijen Rusia (FSB) mengakses seluruh konten internet yang terenkripsi di wilayah mereka. Aturan ini mengharuskan penyelenggara layanan di internet membuka jalan bagi pemerintah untuk menguasai data pribadi penggunanya.

Pemerintah Jerman membuat aturan yang memberi jalan polisi menggunakan "state trojan" untuk mengakses peranti milik tersangka kejahatan, tak hanya soal terorisme. Aplikasi penyusup itu bisa menangkap semua data sebelum dienkripsi oleh aplikasi. Perdana Menteri Ingggris, Theresa May, bahkan mengajukan proposal untuk membatasi gerak teroris di internet dengan mengetatkan penggunaan enkripsi.

Sementara, Uni Eropa justru mengajukan proposal untuk memperkuat hak privasi warganet. Salah satu komite di Uni Eropa yang mengurusi kebebasan sipil, mengajukan aturan untuk mewajibkan penggunaan enkripsi pengguna-ke-pengguna di seluruh platform digital. Usulan ini sekaligus kontra gagasan agar pemerintah mendapat akses khusus (back door) ke penyelenggara layanan komunikasi di ranah daring.

Selain lewat jalur hukum, upaya menerabas akses juga muncul lewat jalur peretasan langsung. Dalam kasus FBI-Apple misalnya, pemerintah AS akhirnya tak meneruskan konflik hukumnya dengan Apple untuk membuka data pengguna iPhone pelaku penembakan massal. Mereka memilih menggunakan jasa pihak ketiga.

Beritagar.id
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :