INTERNASIONAL

[internasional][bleft]

NASIONAL

[nasional][bleft]

ACEH

[aceh][bleft]

TEKNOLOGI

[teknologi][threecolumns]

EKONOMI

[ekonomi][bleft]

SPORT

[sport][threecolumns]

Kenapa Kini PDIP Nyatakan Oposisi Tak Ada di Konstitusi?

KantoMaya News, Jakarta - Dahulu, PDIP pernah menyatakan diri sebagai partai oposisi. Kini, PDIP menyatakan konstitusi di negara ini tak mengenal istilah oposisi. Bagaimana bisa?

Adalah Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto yang menyatakan istilah oposisi tak dikenal di Indonesia. Dia menyatakan, yang dikenal di Indonesia adalah partai di dalam pemerintahan dan di luar pemerintahan.

"Jadi tidak ada istilah oposisi dalam konstitusi kita, yang ada adalah semangat bekerja sama membangun negeri untuk kemajuan Indonesia Raya kita," kata Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto di Posko Cemara, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (30/6) lalu.

Tuswoyo, dalam tulisannya yang berjudul 'Pelembagaan Oposisi dalam Sistem Presidensial: Studi Tentang Oposisi PDIP di DPR' menyatakan PDIP menjadi partai oposisi dengan tidak merekomendasikan kader-kadernya untuk duduk di Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Presiden SBY dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ini tertuang dalam Format Oposisi PDI Perjuangan 2005-2009, dikeluarkan oleh DPP PDIP pada 19 Mei 2005.

"Dalam Format Oposisi yang disusun PDIP dijelaskan bahwa dalam hal tidak ditempatkannya kader-kader PDIP di pemerintahan, tidak termasuk dalam jabatan Duta Besar, karena Duta Besar bukan jabatan struktural pemerintah/eksekutif atau jabatan mewakili pemerintah/eksekutif, melainkan jabatan mewakili negara di luar negeri. Juga pada jabatan pada badan usaha milik negara karena jabatan tersebut bukan jabatan politik, melainkan jabatan yang bersifat kapasitas profesional perorangan," demikian ditulis Tuswoyo dalam karyanya yang dimuat di Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JISPO) UIN Sunan Gunung Djati Volume I, edisi Januari-Juni 2013.

Dalam disertasinya pada program pascasarjana Universitas Indonesia, Tuswoyo menjelaskan konteks pada 2004. Setelah kalah dalam Pemilu 2004, Megawati mendeklarasikan partainya sebagai partai oposisi dengan melarang kadernya duduk di kabinet SBY-JK. PDIP kemudian menyiapkan diri menyusun kebijakan beroposisi yang kemudian dituangkan dalam Format Oposisi PDIP, di dalamnya mencakup dasar dan orientasi kebijakan PDIP menjadi partai oposisi.

Dalam Format Oposisi PDIP dijelaskan, oposisi dilakukan terhadap kinerja pemerintah berupa kritik terhadap hal-hal yang merugikan kepentingan rakyat (tidak prorakyat) dan mengajukan alternatif yang menguntungkan rakyat (prorakyat). Kongres PDIP di Bali pada 2005 menetapkan Pancasila 1 Juni 1945 sebagai dasar kebijakan beroposisi. Kebijakan beroposisi dimaknai sebagai kembali kepada nilai-nilai kerakyatan dan orientasi ekonomi nasionalistik yang menjadi perhatian Sukarno sebagai penggali Pancasila.

Itu dulu. PDIP kemudian menjadi the ruling party. Kini, di tahun 2019, PDIP menegaskan bahwa oposisi tidaklah dikenal di konstitusi Indonesia.

Sekretaris Badan Pendidikan dan Pelatihan DPP PDIP Eva Kusuma Sundari menjelaskan perihal perubahan ini. Kongres II PDIP di Bali secara eksplisit menyatakan partai berlambang banteng moncong putih ini jadi oposisi karena konteks politik saat itu berbeda dengan saat ini. Kini Jokowi diyakini telah mempraktikkan Pancasila dengan betul.

"Karena kan dulu pemerintah yang berkuasa belum mempraktikkan Pancasila. Sekarang, Pancasila sudah menjadi keputusan dan platform, maka ya mari gotong-royong," kata Eva kepada wartawan, Rabu (3/7/2019).

Saat itu oposisi memang menjadi bentuk. Menurut penjelasan Eva, oposisi sebenarnya lebih sebagai fungsi ketimbang bentuk. Fungsi itu ada di semua anggota DPR, semua dituntut kritis tak peduli dari partai mana dia berasal. Di parlemen, proses musyawarah untuk mufakat harus melalui jalan kritis. Bung Karno menjelaskan, untuk mencapai mufakat, proses yang dilalui haruslah seperti padi: digiling hingga diayak untuk bisa menjadi beras.

Kini, di pemerintahan presiden yang berasal dari PDIP, oposisi tidak diperlukan lagi. "Menurut saya begitu, seperti di DPR dan MPR kan ada asas proporsionalitas. Itu tidak ada di manapun, baik di sistem Inggris maupun gaya Amerika Serikat, di mana kalau sudah menjadi oposisi ya sudah tidak usah memikirkan kekuasaan lagi. Tapi di DPR Republik Indonesia, proporsionalitas berlaku: meski Anda oposisi, tapi Anda bisa menjadi pimpinan Badan Anggaran, Wakil Ketua DPR, dan macam-macam," tutur Eva.

"Jadi logika demokrasi Pancasila tidak mengenal the winner takes all atau zero sum game. Yang ada adalah musyawarah. Pak Jokowi sudah berbicara mengajak Prabowo dan Sandiaga untuk bersama-sama membangun negara," tandasnya.

Pakar hukum tata negara dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Prof Juanda menilai, dalam UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, tidak dikenal istilah oposisi. Namun oposisi secara fungsi meski secara tekstual tak tercantum di konstitusi diperlukan demi demokrasi yang sehat.

Detik.com
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :