INTERNASIONAL

[internasional][bleft]

NASIONAL

[nasional][bleft]

ACEH

[aceh][bleft]

TEKNOLOGI

[teknologi][threecolumns]

EKONOMI

[ekonomi][bleft]

SPORT

[sport][threecolumns]

Apa yang Arab Saudi cari di Rusia

KantoMaya News -- Ada kejadian yang cukup memalukan ketika Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz tiba di Bandara Internasional Vnukovo, Moskow, Rusia, Rabu (4/10/2017), waktu setempat.

Sepanjang sejarah kemonarkian Arab Saudi, kunjungan Raja Salman ke Rusia ini adalah yang pertama kalinya. Tak ayal, seremonial kedatangan pun seharusnya berjalan sempurna.

Apa daya, seremonial itu rusak akibat eskalator berbalut emas yang dipasangkan pada pintu pesawat pribadi Raja Salman macet di tengah perjalanannya.

Alhasil, Raja Salman, yang sudah memasuki usia sepuhnya (81 tahun), harus meneruskan separuh perjalanan eskalator dengan berjalan kaki, hingga benar-benar sampai di tanah Rusia.

Ketibaan Raja Salman dan rombongan--kurang lebih 1.500 orang--langsung disambut oleh sejumlah pejabat Rusia, salah satunya Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov, berikut dengan beberapa unit mobil Marcedez-Benz, dan 459 ton bagasi yang dibawa serta.

Dua hal terakhir yang disebut tadi sebenarnya adalah hal yang lazim dilakukan keluarga Kerajaan Arab Saudi setiap melancong ke luar negeri.

Walau bagaimana pun, lawatan empat hari Raja Salman di Rusia tetap menjadi sorotan nyaris semua media internasional.

Bagaimana tidak, Riyadh dan Moskow telah lama berselisih. Dua negara yang menghasilkan hampir dari setengah minyak mentah di dunia ini terus-terusan bersaing untuk menguasai pangsa pasar.

Belum lagi urusan konflik Timur Tengah. Moskow selama ini adalah pihak paling lantang mendukung pemerintahan Presiden Suriah, Bashar Assad. Sementara, Arab Saudi--yang didukung negara-negara Sunni dan Amerika Serikat, berupaya keras menggulingkan pemerintahan Assad.

Namun, dalam setahun terakhir, sebuah pendekatan yang tidak terduga antara kedua negara terjadi. Pendekatan yang paling terlihat sebelum kedatangan Raja Salman ke Rusia adalah kunjungan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov ke Jeddah, Arab Saudi, pada 10 September 2017.

Boleh jadi, perbaikan hubungan keduanya dilatari semakin tak harmonisnya hubungan Riyadh-Moskow dengan Washington.

Seperti yang diketahui, hubungan Rusia dengan Amerika Serikat sedang memasuki fase terpanasnya. Pengusiran diplomat hingga penjatuhan sanksi atas Ukraina saling dilakukan dua negara itu.

Sementara, Arab Saudi yang selama ini menganggap Amerika Serikat adalah sekutu terbaiknya, lama kelamaan kecewa dengan sikap negara yang dipimpin Donald Trump itu, yang tidak mau memberi dukungan atas konflik Arab Saudi dengan Qatar.

Kekuatan keduanya, juga bisa memberi sinyal baru atas poros kekuatan dunia terhadap Timur Tengah, di saat pengaruh Amerika Serikat di kawasan tersebut sedang mengendur.

"Aku yakin, kunjungan Raja Salman ini akan meningkatkan hubungan di antara negara kita," sebut Presiden Rusia Vladimir Putin dalam pertemuan dengan Raja Salman di Kremlin dalam lansiran The Telegraph, Kamis (5/10/2017).

Peningkatan hubungan itu bisa terlihat dari 15 perjanjian kerja sama yang ditandatangani dua negara setelah pertemuan Raja Salman dan Putin di Kremlin.

Perjanjian mencakup kesepakatan minyak, militer dan eksplorasi luar angkasa. Rumornya, sekitar US $3 miliar atau setara Rp40,4 triliun digelontorkan Arab Saudi untuk membeli senjata seperti rudal S-400, peluru kendali antitank, dan beberapa peluncur roket dari Rusia.

Meski memang, salah satu hal yang paling dikejar oleh Arab Saudi melalui Rusia adalah kesepakatan pengendalian harga minyak mentah dunia, seperti yang telah dilakukan negara-negara OPEC pada awal tahun ini.

Kerja sama dalam bidang energi dengan nilai investasi langsung yang dikelola Russian Direct Investment Fund (RDIF) senilai US $1 miliar disebut turut ditandatangani kedua belah pihak.

"Kesuksesan dari kerja sama ini begitu penting," sebut Menteri Energi Arab Saudi, Khalid Al-Falih, dalam The Guardian. Rusia memang bukan anggota OPEC, namun kestabilan harga minyak dunia juga sangat berpengaruh bagi negara penghasil minyak terbesar ketiga di dunia ini.

Pada pertengahan 2014, harga minyak ambruk dibawah US $100 per barel.

Rusia dan Arab Saudi sama-sama panik, dan mencoba untuk menghasilkan pengurangan produksi minyak yang akan meningkatkan harga. Tapi mereka gagal membuat rencana tindakan, dan Rusia bahkan berjanji untuk meningkatkan produksi.

Hal ini kemudian yang menyebabkan ketidakstabilan harga minyak mentah dunia, dan ekonomi Arab Saudi. Pada akhirnya, Arab Saudi memutuskan untuk melakukan reformasi keuangannya, dan meninggalkan cara-cara tradisional untuk menyelamatkan ekonomi negaranya.

Sebagai balasannya, tentu saja dalam pertemuan tersebut Arab Saudi tak lagi menuntut pencopotan segera Assad, dan juga tak ada lagi kecaman operasi militer Rusia yang sudah memasuki tahun ketiganya di Suriah.

Beritagar.id
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :